Rabu, 30 November 2011

PROPOSAL SEMINAR


BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Pulau Madura terletak di timur laut pulau Jawa. Pulau ini memiliki 4 (empat) kabupaten, yaitu Kabupaten Bangkalan dengan ibu kota Bangkalan, Kabupaten Sampang dengan ibu kota Sampang,  Kabupaten Pamekasan dengan ibu kota Pamekasan, Kabupaten Sumenep dengan ibu kota Sumenep (Jonge, 1989:11). Jika mendengar kata Madura, yang terbayang  pertama kali di pikiran kita adalah sate, soto, garam dan kerapan sapi yang dikenal orang berasal dari Madura. Pulau penghasil garam ini ternyata menyimpan sebuah keunikan yaitu suatu masyarakat Cina yang telah melebur dengan masyarakat Madura.
Sekitar tahun 1229 merupakan kontak pertama Cina dengan Madura yaitu setelah Raden Wijaya berhasil membangun Majapahit di hutan tarik hadiah dari Jayakatwang yang telah mengalahkan mertuanya (Kerta Negara), kemudian datanglah armada pasukan Tartar utusan Kubilai Khan dengan maksud menaklukkan kekuasaan Kerta Negara. Seiring dengan kedatangan pasukan Tartar itu maka Raden Wijaya mencari siasat dengan menerima baik-baik tentara Tartar tersebut yang kemudian bersama-sama menyerang dan menguasai Kediri. Namun setelah Jayakatwang dapat dihancurkan akhirnya Raden Wijaya berbalik memerangi tentara Tartar sehingga pasukan ini tercerai berai, sebagian melarikan diri dengan perahu pulang ke negeri Cina dan lainnya terdampar di berbagai kota di Nusantara seperti Madura dan Kalimantan Barat (Qurtuby, 2003:79). Dalam memerangi tentara Tartar tersebut Raden Wijaya dibantu oleh Arya Wiraraja (Adipati Sumenep) dan orang-orang Madura.
Pada masa peperangan antara Joko Tole melawan Dempo Awang atau Sampo Tua Lang pada tahun 1415 diperkirakan merupakan kontak yang kedua antara penduduk Madura dengan bangsa Cina. Menurut Werdisastra dengan bukunya yang berjudul Babad Songgennep (1996:108-112) Dempo Awang menderita kekalahan hebat, maka ia kemudian berusaha meminta ampun kepada Joko Tole, namun ternyata Joko Tole tidak mau memaafkannya, bahkan Dempo Awang dengan perahu saktinya dapat dihancurkan oleh Joko Tole dengan cemeti saktinya. Perahunya hancur dan tenggelam bersama bala tentaranya dan semua tentara Cina mati (Moedjijono, 1979:112).
Kontak ketiga diperkirakan terjadi setelah Belanda mulai menguasai Madura, abad XVIII. Pada saat itu terjadi pemberontakan Cina di Batavia akibat dari tindakan VOC yang semena-mena. Akhirnya kompeni mengambil tindakan untuk meredakan suasana dengan memberikan ampunan bagi orang-orang Cina, namun kebanyakan orang-orang Cina tidak mau lagi pulang ke Batavia. Mereka membentuk laskar besar yang dipimpin oleh Tan Wan Soei. Laskar ini menjelajah tanah Jawa. Tujuan mereka adalah menyerang setiap daerah yang dikuasai oleh Belanda yaitu pantai utara pulau Jawa dan seluruh pulau Madura. Kontak yang ketiga inilah banyak orang-orang Cina yang menetap dan menikah dengan orang-orang Madura yaitu pada tahun 1750 (Moedjijono, 1979:113-114).
Sumenep merupakan kota yang paling banyak terdapat orang Cina di antara empat kabupaten  di Madura (lihat lampiran 1). Sumenep menunjukkan pengaruh Cina yang sangat besar. Komunitas Cina selain datang untuk berdagang juga bekerja sebagai petani, pertukangan serta kerajinan, hal ini terbukti pada masa Panembahan Sumolo, beliau mendirikan tempat tinggal di sebelah timur Keraton. Arsitek yang ditunjuk adalah seorang bangsa Cina bernama Lauw Piango, cucu dari Lauw Khun Thing. Lauw Khun Thing adalah salah satu di antara enam orang Cina yang mula-mula datang dan menetap, ia diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut “Huru Hara Tionghoa” pada tahun 1740 (Zulkarnaen, 2003:128).  Atas jasanya ini, Lauw Piango diberi tanah perdikan di Pajagalan di sebelah utara alun-alun Sumenep dan disuruh membangun rumah untuk keluarganya dengan menggunakan sisa bahan bangunan dari proyek Keraton dan Masjid Agung Sumenep tersebut. Konon kompleks rumah ini dibuat menghadap (berpintu gerbang) ke arah selatan yakni ke alun-alun, ke utara ke jalan raya, sedangkan rumahnya sendiri dibuat menghadap ke timur. Ini dimaksudkan sebagai tanda bukti kesetiaannya kepada Panembahan. Di bagian timur dari kompleks bangunannya itu bahkan kemudian diberi nama Jalan Lauw Piango oleh Panembahan (Moedjijono, 1979:115). Namun, sekarang Jalan ini sudah diganti nama menjadi Jalan Trunojoyo.
Pemberontakan tahun 1740 terhadap komunitas Cina menyebabkan  banyaknya komunitas Cina beragama Islam. Orang-orang Cina dari Semarang bersembunyi di pesisir Sumenep, memakai nama Bumiputera dan beragama Islam (Ong Hok Ham, 2005:27). Pada tahun 1766, jumlah komunitas Cina yang beragama Islam semakin banyak, sehingga mereka yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Bumiputera, mulai tahun itu berada di bawah kekuasaan seorang Kapitein Cina muslim sendiri. Kapitein Cina muslim terakhir adalah Kapitein Mohammad Japar yang meninggal pada 1827 (De Haan dalam Ong Hok Ham, 2005:7). Komunitas Cina yang masuk Islam dan memakai nama Bumiputera adalah suatu kecenderungan lagi dari meleburnya orang Cina ke dalam masyarakat Bumiputera. Orang Belanda menamakan komunitas Cina muslim dengan istilah Geschoren Chinees (orang Cina yang dicukur), karena salah satu pertanda seorang Cina masuk agama Islam adalah mencukur kuncirnya. Tujuan mereka menjadi muslim adalah untuk melebur ke dalam masyarakat Bumiputera dan golongan elite yaitu golongan bangsawan yang merupakan topclass (golongan intelektual) (Ong Hok Ham, 2005:7-8).
Dungkek merupakan salah satu desa yang menjadi tempat pelarian Cina dari Semarang. Dungkek berada di bagian paling timur, terletak 30 km dari Kota Sumenep. Memiliki luas wilayah 6.334,63 hektar berada pada ketinggian kurang dari 500 m dari permukaan laut atau termasuk daerah dataran rendah dan berbatasan langsung dengan pantai (BPS, 2009:1). Berdasarkan letak geografis, mayoritas penduduk Dungkek bermata pencaharian sebagai nelayan, tetapi ada juga sebagian yang bermata pencaharian sebagai petani. Berbeda dengan komunitas Cina, walaupun nenek moyang mereka seorang pelaut tetapi di Dungkek mereka berprofesi sebagai pedagang yang menguasai perdagangan di Dungkek, walaupun kedudukan mereka hanya minoritas. Sekitar 25 keluarga keturunan Cina bermukim di daerah pesisir Dungkek, menjadi pedagang dan sebagian sudah menjadi muslim. Berdasarkan penuturan Herman (23 Tahun), seorang etnis Cina muslim yang sudah tidak menggunakan nama Cina mengaku kebanyakan di antara mereka yang menjadi muslim adalah keturunan Lauw.
Sekitar pesisir Dungkek banyak ditemui rumah-rumah tua Cina dengan lengkungan di kedua ujung atapnya (lihat foto 1). Latifah (42 tahun) salah seorang penduduk Dungkek yang menempati rumah seorang Cina yang  berangka tahun 1907, bertuliskan nama Cina, Tan Tuang An di antara sekat atap (lihat foto 2), selain itu rumah yang ditempati Hasbullah (Alm) juga mendapat pengaruh Cina, di kedua atapnya terdapat lengkungan seperti rumah-rumah di Cina dengan berangka tahun 1108, sayangnya rumah ini tidak ada nama pembuatnya (lihat foto 3) dan beberapa makam tua Cina Dungkek (lihat foto 4). Tanah pemakaman Cina di Dungkek merupakan hadiah dari Panembahan Sumenep dan milik bersama. Terdapat satu arca Siwa di Dungkek yang berasal dari Bali. Arca tersebut dipuja oleh komunitas Cina pada jaman dulu, tetapi sekarang tidak dianggap suci lagi dan dipindah ke Keraton Sumenep (Ong Hok Ham, 2005:30). Berdasarkan toponimi tempat tersebut dinamakan desa Arca yang masih ada di Kecamatan Dungkek sampai sekarang.
Menurut Lintu dalam Kompas Sabtu, 10 April 2010 kedatangan orang-orang Cina terjadi melalui jalur perdagangan, bukan jalur resmi pemerintahan. Orang Cina yang tetap bermukim di perantauan sampai beberapa keturunan tanpa kembali ke negeri asalnya. Mereka membaurkan diri baik dalam bahasa, makanan, pakaian maupun agama disebut golongan peranakan (Setiono, 2002:56). Seperti halnya komunitas Cina Dungkek yang sudah bertahun-tahun menetap di Dungkek dan berbaur dengan masyarakat setempat. Nasru Alam Aziz dalam Kompas, 10 April 2010 menyebutkan bahwa Dungkek berasal dari bahasa Mandarin singkek yang artinya tamu pendatang.
Di manapun mereka tinggal, mereka akan terus mempercayai dan meyakini budaya leluhur. Orang Cina begitu teguh memegang budaya mereka walaupun mereka tidak lahir dan dibesarkan di tanah Cina (Lee Tan, 2008:15). Seperti halnya komunitas Cina Dungkek yang masih memegang kebudayaan mereka, memperingati perayaan Imlek tetapi sebagian komunitas Cina yang menganut agama Islam mengaku sudah tidak merayakan Imlek karena mereka sudah menjadi muslim.
Lalu bagaimana dengan komunitas Cina muslim Dungkek? Mengapa mereka lebih memilih menjadi muslim padahal kebanyakan orang Cina menganggap Islam itu agama yang tidak baik. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji secara mendalam melalui penelitian yang berjudul Komunitas Cina Muslim Dungkek (1957-1960)”.
B.  Rumusan Masalah penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, rumusan masalah yang dapat dibuat adalah sebagai berikut :
  1. Bagaimana proses Islamisasi komunitas Cina Dungkek?
  2. Bagaimana kehidupan sosial budaya komunitas Cina Dungkek tahun 1957-1960?
C.  Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Mendeskripsikan proses Islamisasi komunitas Cina Dungkek.
2.      Mendeskripsikan kehidupan sosial budaya komunitas Cina muslim Dungkek tahun 1957-1960.
D.  Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1.    Bagi Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang
Sebagai sumber referensi dan dokumentasi yang diperlukan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan,  terutama tentang penelitian sejarah lokal sekaligus sejarah sosial yang terkait dengan kehidupan sosial-budaya. Hasil penelitian ini tentunya akan menambah informasi bagi penelitian selanjutnya dan dapat menambah perbendaharaan karya ilmiah bagi lembaga yang terkait.
2.    Bagi Masyarakat Luas
Untuk mengembangkan pemahaman masyarakat, dalam melihat peristiwa Sejarah tidak hanya dari satu sudut pandang saja.
3.    Bagi Peneliti
Peneliti mendapatkan tambahan pengetahuan tentang bidang sejarah yang dapat digunakan untuk mengaplikasikan ilmu atau pengetahuan yang telah diterima selama di bangku perkuliahan yang tentunya akan sangat berguna bagi peneliti dikemudian hari, dan melatih berfikir kritis serta berani mengungkapkan pendapat.
4. Bagi Pemerintah Kota Sumenep
Menambah dan melengkapi kumpulan referensi serta informasi tentang keberadaan kehidupan sosial-budaya komunitas Cina kabupaten Sumenep dan menjadi sejarah yang tidak akan pernah terlupakan oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Dungkek.
E.  Ruang Lingkup Penelitian
Langkah yang sangat penting bagi seorang peneliti ialah perlunya membatasi ruang lingkup penelitian. Penentuan ruang lingkup dalam suatu penelitian  dimaksudkan untuk menghindari penyimpangan uraian dari fokus permasalahan, sehingga peneliti tidak terjerumus dalam sekian banyak data yang tidak berguna bagi penelitian. Dalam penelitian ini peneliti memberikan batasan spasial, temporal dan materi.
1.    Lingkup Spasial
Lingkup spasial atau tempat yang diambil dalam penelitian ini adalah Desa Dungkek, Kecamatan Dungkek, yang terletak 30 km ke arah timur dari kota Sumenep, Pulau Madura. Pemilihan Desa Dungkek ini tidak terlepas dari keberadaan komunitas Cina yang berpusat di Sumenep terutama di Desa Dungkek dan dengan didukung desa-desa lain seperti Lapa Laok dan Bicabi yang masih termasuk dalam Kecamatan Dungkek.
2.    Lingkup Temporal
Jangkauan temporal—pembatasannya bersifat longgar karena terdapat data peristiwa yang mendahului namun masih relevan dalam menjelaskan uraian yang dibahas—dalam penelitian ini berawal tahun 1957 menjadi batas awal penelitian ini karena sumber yang didapat di Koran Tempo, Imlek Berlalu di Desa Dungkek edisi Selasa, 15 Februari 2005 proses Islamisasi di Dungkek berawal pada tahun 1957 oleh H.Abdul Kahar (Alm) dengan nama Cinanya Kee Wan. Beliau mengaku bahwa sebelumnya beliau beragama Budha.
Tahun 1960 merupakan batas akhir penelitian ini karena berdasarkan hasil wawancara dengan H. Edi Kartono alias Eek Wan (68 Tahun), komunitas Cina Dungkek yang menganut agama Islam kebanyakan pada masa perlawanan terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia) sekitar tahun 1960an, yang saat itu dipelopori oleh kaum komunis. Melihat gejolak yang terjadi saat itu, orang-orang komunis dianggap atheis atau tidak percaya Tuhan. Tidak menutup kemungkinan jika komunitas Cina Dungkek memeluk agama Islam untuk menepis anggapan tersebut. Tahun 1960an inilah berkembang pesat Islamisasi komunitas Cina Dungkek.
3.    Lingkup Materi
Lingkup materi penelitian ini adalah :
1)      Proses Islamisasi komunitas Cina Dungkek.
2)      Kehidupan sosial-budaya komunitas Cina Dungkek tahun 1957-1960.
F.   DEFINISI OPERASIONAL
1.    Cina
Andreas Lee Tan (2008:12) dalam bukunya yang berjudul Rahasia Kekayaan Orang-orang Cina menyebutkan bahwa istilah Tionghoa yang sekarang aktif digunakan orang-orang Cina. Kata Tionghoa berarti orang dari kerajaan tengah atau pusat kerajaan Cina. Dengan kata lain, mereka meminta diperlakukan sebagai orang kerajaan atau penguasa dari Cina yang datang dan hidup di Indonesia. Jadi, mereka ini orang asing, bukan orang Cina yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal (Indonesia). Ciri keasingan mereka juga ditegaskan kembali dalam pengidentifikasian diri sebagai orang Chinese. Sebutan ini biasanya ditujukan kepada orang Cina yang berasal dari luar Indonesia atau orang asing.
Masyarakat Sumenep sendiri tidak mengenal kata Tionghoa tetapi oreng Cena atau orang Cina, kampong pacenan atau kampung pecinan.
2.    Dungkek
Dungkek merupakan sebuah desa yang terletak 30 km ke arah timur dari Kabupaten Sumenep. Memiliki batas-batas wilayah antara lain sebagai berikut :
1)      Sebelah utara              : Laut Jawa
2)      Sebelah selatan           : Laut Jawa
3)      Sebelah timur                         : Laut Jawa
4)      Sebelah barat              : Kecamatan Gapura (BPS, 2009:1).
Nasru Alam Aziz dalam Kompas, 10 April 2010 menyebutkan bahwa Dungkek berasal dari bahasa Mandarin singkek yang artinya tamu pendatang. Di desa ini dapat ditemukan orang Cina yang beragama Islam. Selain memakai nama Cina, mereka juga memakai nama Islam.
3.    Komunitas
Komunitas menurut Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:454) memiliki pengertian kelompok organisme (makluk hidup) yang hidup dan saling berinteraksi dalam suatu daerah tertentu; masyarakat.
G.  KAJIAN PUSTAKA
1.    Manusia, Lingkungan, dan Kebudayaaan
Masyarakat tidak akan terbentuk tanpa orang-orang, sebuah keluarga tidak akan bisa disebut keluarga tanpa ada orang tua yakni Bapak dan Ibu serta anak-anak didalamnya. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri sehingga membutuhkan orang lain untuk berinteraksi dalam suatu proses sosial. Proses sosial merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang didalamnya terdapat suatu proses hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain. Proses hubungan itu berupa interaksi sebagai pengaruh timbal balik antara kedua belah pihak.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak bisa lepas dari kebudayaan, sehingga tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Kebudayaan hanya terdapat dalam hidup manusia, yang berarti hewan tidak mempunyai kebudayaan. Sebagian besar dari kelakuan manusia dipengaruhi oleh akal, maka cara hidupnya selalu berubah dari masa ke masa menuju kesempurnaan. Begitu pula kebudayaan manusia, kebudayaan terus bergerak tumbuh dan berkembang. Manusia hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, dengan lingkungan tersebut maka manusia bisa menimbulkan kebudayaan. Lingkungan di negara-negara Eropa berbeda dengan lingkungan di Indonesia sehingga kebudayaan yang ditimbulkan juga berbeda (Daeng, 1986).
Manusia, lingkungan dan kebudayaan adalah 3 hal yang saling berhubungan karena ketiganya saling melengkapi. Manusia yang membentuk kebudayaan dan kebudayaan dibentuk oleh lingkungan yang pada akhirnya membuat manusia melakukan kebudayaan itu karena menjadi suatu kebiasaan dalam lingkungan masyarakat tertentu. Misalnya, kita orang-orang Indonesia sebelum beraktivitas terbiasa mandi tiap pagi dan sore bahkan 3 kali sehari yakni pagi, siang dan sore agar wajah dan tubuh terasa segar sebelum melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, tidak demikian dengan orang-orang di Amerika, mereka biasanya mandi pada malam hari setelah beraktivitas sehari penuh dan ini sudah menjadi kebiasaan mereka maka tidak bisa disamakan dengan kebiasaan orang-orang Indonesia. Contoh lain yang disebabkan oleh lingkungan adalah seorang pekerja seks komersial tentu mempunyai alasan dan sebab tersendiri mengapa mereka memilih profesi sebagai pekerja seks, bisa saja karena faktor lingkungan keluarga yang kurang memberi perhatian atau karena faktor ekonomi yang tidak mencukupi sehingga akhirnya memilih menjadi pekerja seks untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini juga bisa terjadi karena lingkungan sosial (lingkungan luar atau sekitar) yang mungkin membuat sosok seseorang tertekan sehingga merasa malu atau tertekan dan minder untuk berinteraksi dengan orang sekitar (Suparlan, 1984:36-37).
Contoh lain lagi adalah lingkungan golongan masyarakat Jawa dengan masyarakat Bali, alam lingkungan yang berbeda antara keduanya maka kebudayaan yang timbul dan ada di daerah mereka juga berbeda. Di Jawa, susunan masyarakatnya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari pemerintah sampai orang biasa. Sedangkan di Bali, susunan masyarakatnya dibedakan atas golongan kasta (Daeng, 1986:197-212).
Manusia, lingkungan, dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain. Demikian juga dengan kehidupan masyarakat Cina dan masyarakat Madura (Dungkek) yang saling melengkapi. Kebudayaan Madura dan Cina berbaur tanpa menghilangkan nilai budaya asli. Nilai adat dan norma tetap terjaga. Jika streotipe orang Cina selama ini dikenal pelit-pelit dan pilih-pilih dalam bergaul dengan orang lain, berbeda halnya dengan orang Cina yang ada di Dungkek. Walaupun mereka berbeda etnis tetapi mereka tetap bergaul dengan siapa saja.
2.    Cina Muslim
Tokoh Cina muslim yang terkenal adalah Cheng Ho atau dikenal juga dengan nama Sam Po Kong. Ia adalah muslim yang taat, namun keberadaannya kurang begitu terungkap dalam sejarah. Islam sendiri masuk ke Tiongkok melalui daratan dan lautan. Perjalanan darat mulai dari Arab sampai ke bagian barat Laut Tiongkok melalui Persia dan Afghanistan. Jalan ini terkenal dengan nama “jalur sutra”, sedangkan perjalanan laut dimulai dari Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan Tiongkok seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou dan Yangzhou melalui Teluk Benggala, Selat Malaka dan Laut Tiongkok Selatan. Para pedagang Arab dan Persia yang berniaga ke Tiongkok pada umumnya adalah orang Islam yang datang perorangan dan kemudian menikah dengan wanita setempat. Keturunan mereka secara turun-temurun memeluk agama Islam dan menjadi penduduk di Tiongkok (Yuanzhi, 2005:27-48).
Hubungan Cina dengan Nusantara sudah ada sebelum Islam masuk. Pada masa Umayyah, perdagangan ke Cina dilakukan melalui darat. Perang antara kaum muslimin Cina dengan suku Tibet membuat jalur darat terputus.  Jalur laut menjadi alternatif untuk mencapai Cina. Sejak masa Abbasiyah, perdagangan jalur laut meningkat pesat. Para pedagang muslim yang menggunakan jalur laut menuju Cina mau tidak mau harus melewati Nusantara­­­­­­­­­­—dari laut Aceh, selat Malaka yang membelah Pulau Sumatera dan Semenanjung Melayu hingga menuju Cina. Berkat jalur laut inilah Islam tersebar di Nusantara yang pada masa itu masih menganut Animisme, Hindu, dan Budha. Perjalanan para pedagang muslim menuju Cina membuat Islam sebagai agama masuk secara perlahan di Nusantara (Dyayadi, 2008:3-4).
Sebelum tiba di Jawa, pada tahun 1405 Laksaman Cheng Ho singgah di Samudera Pasai, menemui Sultan Zainal Abidin Bahian Syah untuk membuka hubungan politik dan perdagangan. Pada tahun 1407 Laksamana Cheng Ho melanjutkan perjalanan ke Palembang dan menumpas perompak Hokkian dan membentuk komunitas Cina muslim pertama di Nusantara. Tahun itu juga menyusul pembentukan komunitas Cina muslim di Sambas. Membuktikan bahwa sebelum kedatangan ekspedisi Kaisar Yung Lo yang dipimpin Laksamana Cheng Ho di Palembang dan Sambas sudah ada komunitas Cina.
Untuk menghormati Laksamana Cheng Ho, di Semarang dibangun klenteng Gedong Batu (Sam Po Kong) yang konon asalnya sebuah masjid. Di klenteng Sam Po Kong tersebut terdapat sebuah jangkar kapal yang konon adalah jangkar kapal Cheng Ho. Di dekat gua di klenteng Sam Po Kong terdapat makam Dempo Awang yang merupakan jurumudi Laksamana Cheng Ho. Klenteng Sam Po Kong ini yang menjadi salah satu sumber penelitian sejarah kota Semarang dan peranan orang Cina dalam penyebaran agama Islam dan pembentukan sejumlah kesultanan Islam di Jawa. Bila mengunjungi sejumlah masjid yang ada di Jawa terutama masjid Walisongo seperti Masjid Agung Demak atau makam Sunan Gunung Jati di Cirebon akan terlihat pengaruh kebudayaan Cina. Di tembok-tembok masjid banyak ditempelkan piring porselin Tiongkok dari jaman Dinasti Ming, juga terdapat guci-guci antik (Setiono, 2002:43-44). Seperti halnya Masjid Agung Sumenep yang dibangun pada tahun 1763 M oleh Panembahan Sumolo. Bentuk bangunannya tidak kalah artistik dengan bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia pada umumnya, karena waktu membangun yang bertindak sebagai arsitekturnya adalah Lauw Piango dari Cina (Mariyana, 2007:40). Selain masjid, pengaruh Cina juga terdapat pada bentuk-bentuk dan atap rumah-rumah di Sumenep. Bentuk yang seperti itu oleh seorang pegawai Kabupaten Sumenep disebut bentuk pecinan. Orang Cina yang datang ke Sumenep ada dua kemungkinan: (a) karena perdagangan yang ramai, (b) karena Panembahan Sumolo mendatangkan tukang-tukang dari Cina. Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang religius, pemeluk agama Islam yang taat (Sudikan, 1993:17). Sehingga jika ada seorang Cina yang tidak beragama Islam ingin menikah dengan seorang wanita Madura, dia diharuskan menjadi seorang Islam sebelum dia diperbolehkan kawin dengan wanita Madura yang beragama Islam. Lama-kelamaan orang Cina yang beragama Islam itu menjadi seorang Bumiputera. Setelah pembangunan masjid selesai, maka tukang-tukang Cina dikonsentrasikan di desa Dungkek. Di desa itu mereka menikah dengan wanita setempat, karena itu mereka diharuskan beragama Islam dan menjadi orang Bumiputera. Di Desa Dungkek memang ada satu masyarakat Cina yang sudah beberapa generasi, tetapi mereka masih menggunakan nama Cina dan tidak beragama Islam (Ong Hok Ham, 2005:20-27).
            Pelopor islamisasi Cina Dungkek dimulai dari seorang yang bernama Kee Wan (Alm). Beliau mengaku bahwa beliau adalah orang Cina pertama yang menganut agama Islam, tepatnya pada tahun 1957. Sebelumnya beliau beragama Buddha. Pada tahun 1997, beliau menunaikan ibadah haji. Semenjak itu beliau berganti nama menjadi H. Abd Kahar dan dipercayai menjadi Takmir Masjid Al Ikhlas, masjid terbesar di Kecamatan Dungkek.   
3.    Pemukiman Cina
Sejak dulu ada satu kebiasaan pedagang-pedagang asing untuk tinggal di kampung mereka sendiri. Ini adalah suatu kebiasaan, bukan keharusan. Sebelum tahun 1740, di Batavia ada orang-orang Cina yang yang tinggal di luar kampung Cina. Kampung Cina di Batavia pada mulanya tidak terletak di kota, dulu dinamakan kampung Belanda karena peraturan Belanda yang menyuruh komunitas Cina tinggal di kampung tersebut. Peraturan mengenai kampung Cina pada awalnya adalah untuk melindungi mereka dari sentimen-sentimen anti Cina dan untuk menghindari pemberontakan atau perlawanan orang-orang Cina terhadap pemerintah Belanda.
Staatsblad (Lembar Pemerintah Hindia Belanda) tahun 1835 No.37 dalam Ong Hok Ham (2005:41) menyebutkan bahwa sebab pertama adalah untuk menghindari tercampurnya berbagai bangsa di Jawa. Mulai tahun itu, pelaksanaan peraturan kampung Cina diperkeras. Komunitas Cina dikumpulkan dalam kampung mereka sendiri dan diperintah oleh kepala mereka sendiri, baik itu Majoor atau Kapitein.  Selain itu, adanya kecenderungan percampuran bangsa-bangsa sebelum peraturan wajib dilaksanakan, membuat wijkenstelsel diperkeras (Ong Hok Ham, 2005:40-42). Hal ini juga terdapat di Sumenep,  adanya Majoor Cina di Sumenep, sedangkan di kota-kota Madura lainnya hanya terdapat Kapitein Cina. Sewaktu masih berlaku wijkenstelsel, di Sumenep terdapat dua wijk Cina (orang Cina tidak diperbolehkan tinggal di tempat lain selain di wijk yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda). Satu wijk Cina berada di Kota Sumenep, umumnya yang tinggal di wijk kota Sumenep adalah Cina totok sedangkan satu wijk lagi berada di luar Kota Sumenep yaitu Pabean, umumnya adalah Cina peranakan (Ong Hok Ham, 2005:17-18). Berbeda halnya dengan di Dungkek, walaupun disana terdapat orang-orang Cina tetapi tidak terdapat kampung pecinan, seperti yang ada di Sumenep. Umumnya mereka (komunitas Cina Dungkek) tinggal di daerah pesisir karena letaknya yang strategis dekat dengan laut sebagai akses perdagangan ke pulau seberang yaitu Pulau Giliyang dan Pulau Sapudi.
4.    Etnis Cina
Etnik (etchic) berasal dari kata Yunani ethos, yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang. Sering diartikan sebagai kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat-istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya, dan lain-lain, yang pada gilirannya mengindikasikan adanya kenyataan kelompok yang minorotas atau mayoritas dalam sutau masyarakat. Misalnya, kita menyebutkan Cinacentric untuk menerangkan kebudayaan yang berpusat pada mayoritas etnik dan ras dari yang berorientasi pada Cina, Jawacentric untuk menjelaskan kebudayaan yang berorientasi pada Jawa. Etnik dikenal sebagai suatu populasi yang :
1.      Secara biologis mampuberkembang biak dan bertahan.
2.      Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.
3.      Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
4.      Menentukan cirri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Liliweri, 2005:8-9)
   Menurut orang Jawa, etnis Cina adalah orang yang suka berkelompok dengan sesama etnis, hidup ulet dan pelit, Cina dari kelas menengah atas hidup lebih ekslusif dan diperlukan pengalaman untuk memahami pergaulan antar etnis. Bagi orang Cina, budaya leluhur wajib dihormati. Orang Cina suka hidup menyendiri, mau bergaul dengan orang Jawa jika ada kepentingan. Orang Cina tidak mempertentangkan agama, jika ada konflik agama itu berarti pengalaman mereka yang berkonflik masih dangkal (Salim, 2006:143). Pengaruh Budhisme juga masuk ke Cina dan berasal dari India.  Terjadi sejak awal pertama sebelum masehi yang kemudian masuk secara lebih intensif sejak abad empat masehi (Wiriatmadja, 2003:17).
            Namun, masyarakat Cina di Dungkek ini, mereka adalah masyarakat yang sudah bisa berbaur dengan masyarakat setempat. Mampu menyesuaikan dengan keadaan lingkungan alam maupun sosial masyarakat Dungkek sehingga kata-kata “yang paling kecil” atau “yang paling besar atau tinggi” tidak ada lagi dalam diri masyarakat Cina Dungkek dengan masyarakat Dungkek sendiri. Sudah tidak ada strata dalam kehidupan sosial mereka, yang ada hanya sikap saling menghargai dan  menghormati satu sama lain.
H.  METODE PENELITIAN
Penelitian adalah pencarian jawaban dari pertanyaan yang ingin diketahui oleh peneliti. Untuk menghasilkan jawaban tersebut dilakukan pengumpulan data (Heuristik), pengolahan, dan analisi data dengan menggunakan metode-metode tertentu.
Metode penelitian sejarah merupakan sekumpulan prinsip dan aturan sistematis yang dimaksudkan untuk memberi bantuan secara efektif dalam usaha pengumpulan bahan bagi penelitian sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesis hasil-hasilnya menjadi suatu cerita sejarah (Notosusanto, 1971:10). Adapun prosedur penelitian sejarah menurut Notosusanto (1971:17) meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
1.    Pemilihan Topik
Pemilihan topik tidak dapat muncul masalah jika seseorang tidak mempertanyakan informasi yang ada. Tidak berlebihan bila pertanyaan adalah mesin utama dari proses keilmuan. Disini peneliti mengambil topik tentang komunitas Cina Muslim Dungkek (1957-1960), kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep. Pemilihan fokus kajian ini adalah karena kedekatan emosional tempat tinggal yang dekat dengan peneliti, sekaligus peneliti ingin memunculkan sesuatu yang baru yang belum pernah diteliti dan rasa ingin tahu peneliti. Dalam penelitian ini ada aspek budaya sekaligus peristiwa sejarah.
2.    Heuristik (Pengumpulan Data)
Langkah kedua dalam metode penelitian sejarah adalah heuristik (pengumpulan data) sebagai proses untuk menemukan sumber-sumber yang dipergunakan sebagai penelitian sejarah. Sumber sejarah dilihat dari penyampaiannya dibagi menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Menurut Gottschalk (1985:35) sumber primer diperoleh dari kesaksian seorang yang sejaman dari peristiwa yang dikisahkan dan saksi tersebut melihat kejadian dengan mata kepala sendiri, sedangkan sumber sekunder adalah  sumber informasi yang diperoleh dari orang yang tidak terlibat langsung dalam suatu kejadian atau peristiwa.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber primer yaitu wawancara. Untuk informasi awal adalah dari orang Cina Dungkek, pertama adalah H. Edi Kartono dengan nama cinanya Eek Wan (68 tahun), berprofesi sebagai pedagang yang memberikan infomasi awal proses islamisasi komunitas Cina Dungkek. Kedua adalah Herman Susanto (23 tahun), mengaku sudah tidak memakai nama Cina lagi. Dia memberikan informasi tentang shè yang menganut Islam. Kebanyakan yang menganut Islam itu berasal dari shè Lauw.
Sedangkan sumber sekunder menggunakan buku-buku yang relevan berkaitan dengan penelitian ini misalnya :
1)      Tulisan Ong Hok Ham dalam bukunya yang berjudul Riwayat Peranakan Tionghoa di Jawa. Ong menjelaskan aktivitas Tionghoa di Jawa yang menghasilkan sebuah kebudayaan. Dalam sub-babnya menjelaskan tentang masyarakat peranakan di Madura: keyakinan Islam dan asimilasi.
2)      Tulisan Werdisastra dalam bukunya yang berjudul Babad Songgenep. Dijelaskan bahwa orang-orang Cina menetap di Sumenep dan kawin dengan putri-putri Madura. Mereka oleh Bupati dipekerjakan sebagai pengurus pasar, pabean, penjualan candu dan pada bidang pertukangan serta kerajinan. Salah seorang dari enam orang Cina ini bernama Lauw Koen Thing atau sering disebut Leo Kate, seorang ahli bangunan yang kemudian menurunkan Lauw Piango (cucunya). Yang terakhir inilah oleh Panembahan Sumolo diberi kepercayaan untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan Keraton Sumenep serta Masjid Agung Sumenep. Atas jasanya ini, Lauw Piango diberi tanah perdikan di Pajagalan sebelah utara alun-alun Sumenep dan disuruh membangun rumah untuk keluarganya dengan menggunakan sisa bangunan dari proyek Keraton dan Masjid Agung Sumenep tersebut. Konon kompleks rumahnya ini dibuat menghadap (berpintu gerbang) ke arah selatan yaitu ke alun-alun, ke utara ke jalan raya, sedangkan rumahnya sendiri dibuat menghadap ke timur.
3)      Tulisan lain dari Iskandar Zulkarnaen yang berjudul Sejarah Sumenep. Buku ini menjelaskan tentang adat istiadat, kebudayaan, pemukiman dan kedatangan orang-orang asing ke Sumenep.
4)      Andreas Lee Tan dengan bukunya yang berjudul Rahasia Kekayaan Orang-orang Cina. Menjelaskan tentang kesuksesan orang Cina berbisnis di berbagai pelosok dunia dengan modal yang sangat minim dan pengetahuan yang sangat terbatas. Semua ini tak luput dari kegigihan orang Cina menuju kesuksesan dan kepercayaan terhadap budaya leluhur yang masih melekat dimanapun orang Cina berada. 
5)      Buku Tionghoa dalam Pusaran Politik yang ditulis oleh Benny G Setiono. Menjelaskan masalah diskriminasi Tionghoa yang ada di Nusantara dari jaman kolonial sampai orde baru. Dalam sub-babnya juga dijelaskan penyebaran agama Islam oleh seorang etnis Cina, yang bernama Laksamana Cheng Ho dan pengaruhnya terhadap pulau Jawa.
6)      History of Java yang ditulis oleh Thomas Stamford Raffles, mengungkapkan bahwa orang Cina lebih cerdas dan lebih rajin daripada orang-orang pribumi dan merupakan nyawa dan jiwa dari suatu perdagangan negara, hal ini sangat jelas bahwa orang Cina menguasai sektor perekonomian negara. Orang Cina juga menekuni pembajakan laut serta perdagangan gelap dan juga sangat tekun dalam spekulasi keuntungan yang digerakkan oleh semangat petualangan dan sudah terbiasa dengan usaha yang membahayakan. Di buku ini juga dijelaskan, populasi penduduk Cina dan Madura tahun 1815.
7)      Buku yang ditulis oleh Dr. Dyayadi yang berjudul Mengapa Etnis Tionghoa Memilih Islam. Buku ini berisi kumpulan sejarah lisan tentang keturunan Cina yang dulunya beragama non Islam, setelah mendapat hidayah menganut agama Islam.
8)      Buku Madura III, berupa kumpulan makalah-makalah seminar 1979. Dalam makalah tersebut ada  tulisan Ir. Zein Moedjijono yang berjudul Rumah Tinggal Tradisional di Kota Sumenep yang isinya menjelaskan tentang secara singkat sejarah Madura, kedatangan bangsa asing ke Sumenep dan pengaruhnya terhadap arsitektur atau rumah tinggal masyarakat Sumenep.
3.    Kritik
Dalam melakukan proses verifikasi dengan cara pengujian terhadap sumber, dilakukan suatu kritik terhadap sumber tersebut. Dalam proses kritik dibagi atas dua bagian yaitu: kritik ekstern adalah bahan yang berhasil dikumpulkan kemudian diuji keasliannya dan keakuratannya kemudian dilakukan sebuah proses oleh peneliti untuk melakukan menguji suatu dokumen. Sedangkan intern yaitu usaha untuk meneliti isi dari sumber sejarah itu dimana dibutuhkan penguasaan terhadap topik yang diteliti dengan memadai. Karena dengan cara ini sejarawan akan cepat menentukan apakah sumber yang diperoleh tersebut isinya relevan.
  1. Kritik Ekstern.
Dalam proses kritik ekstern setelah peneliti melakukan pengumpulan sumber-sumber arsip maupun buku-buku, peneliti melihat keaslian dari bahan kertas serta tulisannya dengan gaya bahasa yang digunakan apakah sejaman atau tidak, apakah sumber itu seperti yang kita kehendaki, apakah sumber itu utuh atau telah diubah. Karena dengan cara ini peneliti bisa dibantu dengan tata bahasa pada masa itu, mengingat bahasa selalu mengalami perkembangan-perkembangan pada setiap zamannya. Peneliti melakukan perbandingan apakah data yang diperoleh dari buku-buku terkait sesuai dengan tema dilihat dari sisi gaya bahasa dan angka tahun. Jika ada ketidak konsistenan pernyataan dari sumber primer dan sumber sekunder maka peneliti membandingkan dengan informasi lain yang ia ketahui dan didapat dari lingkungan setempat. Misalnya jika angka tahun dari buku Thomas Stamford Raffles tentang History of Java adalah tahun 1811-1816 mungkin memang terlalu jauh dengan tema angka tahun penelitian ini, tentu dalam buku ini ada hal-hal yang masih tetap dipertahankan oleh orang Cina Dungkek yaitu Cina menguasai sektor perekonomian, maka ini dimasukkan dalam penelitian sebagai sumber tambahan karena telah dilakukan kritik ekstern sebelumnya.
  1. Kritik Intern
Pada proses kritik intern peneliti lebih memperhatikan pada aspek isi suatu sumber, peneliti akan melakukan sumber pembanding dengan penelitian antara penelitian asli dari pihak yang netral. Jika ada data atau buku yang penjelasannya hampir sama satu dengan yang lain maka peneliti akan menggabungkan data dan informasi tersebut menjadi kesatuan data yang memberikan penjelasan mendekati fakta. Kebenaran data yang telah ditulis dengan data yang sudah ada sebelumnya akan dibandingkan kemudian diambil kesimpulan yang paling dekat dengan kenyataan. Pada kritik intern, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan salah seorang Cina muslim Dungkek untuk memperoleh data dari permasalahan yang ada. Setelah wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat maka wawancara dengan tokoh masyarakat yang lain juga dilakukan kemudian dilakukan perbandingan antara pendapat kedua tokoh tersebut mana yang hampir mendekati fakta. Penerapan kritik intern yakni dengan membandingkan berbagai sumber yang sedikit berhubungan satu dengan lainnya dan diambil satu kesimpulan yang hampir mendekati fakta.
4.    Interpretasi
Langkah selanjutnya dalam penelitian sejarah adalah interpretasi Notosusanto (1971:23) memberikan pengertian interpretasi adalah kegiatan mengadakan penafsiran terhadap fakta dari pengolahan data. Dari berbagai fakta harus dirangkaikan dan dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis dan logis. Kegiatan ini berusaha untuk mengadakan penafsiran terhadap fakta sejarah dari hasil kritik sumber yang dipilih dirangkaikan secara kronologis, rasional, faktual dan kausalitas (Notosusanto, 1971:23). Widya (1988:23) mengemukakan bahwa fakta sejarah yang telah diwujudkan itu perlu dihubungkan dan dikait-kaitkan satu sama lain sedemikian rupa sehingga antara fakta satu dengan fakta yang lain kelihatan suatu rangkaian yang masuk akal, dalam arti menunjukkan kesesuaian satu sama lainnya secara berurutan yang bermanfaat dalam kegiatan penulisan sejarah. Fakta yang telah dipilih dan ditetapkan sebagai sumber sejarah dalam penelitian dirangkaikan dan dibangun sendiri secara kronologis, rasional dan faktual serta kausalitas sehingga menjadi suatu kisah yang benar. Setelah itu peneliti melakukan penafsiran dan pemahaman fakta-fakta sejarah dari sumber tertulis dan sumber lisan dengan berdasarkan pada aspek pembahasan tentang komunitas Cina muslim yang ada di Dungkek.
5.    Historiografi
Historigrafi adalah penelitian sejarah yang merupaka keseluruhan pengerahan daya pikiran sejarawan melalui keterampilan teknis menggunakan kutipan-kutipan dan catatan-catatan serta pikiran-pikiran kritis dan analisnya. Menurut Gottschalk (1980:32) historiografi adalah kegiatan rekonstruksi yang imajinatif berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses metode sejarah. Menurut Notosusanto (1971:24) historiografi adalah kegiatan akhir dari penelitian sejarah, yaitu berupa kegiatan merumuskan kisah sejarah secara kronologis dan sistematis.
Tujuan dari historiografi ini adalah menuliskan hasil interpretasi agar menjadi kisah sejarah tidak hanya menjajarkan fakta-fakta tetapi juga disertai dengan uraian-uraian secara obyektif mengenai pokok-pokok masalah sehingga nantinya akan terwujud kisah sejarah. Historiografi tidak hanya menggambarkan suatu fenomena tetapi juga menerapkan hubungan sebab akibat dan perhitungan imajinatif yang diawali dengan proses islamisasi dan kehidupan sosial budaya komunitas Cina muslim Dungkek.
I.     SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan ”Komunitas Cina Muslim Dungkek (1957-1960)” antara lain sebagai berikut :
BAB I: Pendahuluan terdiri atas (a) Latar Belakang, (b) Rumusan Masalah, (c) Tujuan Penelitian, (d) Manfaat Penelitian, (e) Ruang Lingkup Penelitian, (f) Definisi Operasional, (g) Kajian Pustaka, (h) Metode Penelitian, (i) Sistematika Penulisan.
BAB II: proses Islamisasi komunitas Cina Sumenep, khususnya yang ada di Dungkek. Sub-babnya adalah (a) Latar belakang Kecamatan Dungkek yang meliputi: keadaan geografis dan kependudukan, (b) Cina totok, (c) Cina peranakan.
BAB III: kehidupan sosial budaya komunitas Cina muslim Dungkek tahun 1957-1960 meliputi: (a) pernikahan Cina muslim menggunakan adat Madura dan Cina, (b) upacara pemakaman Cina muslim dan pengaruhnya terhadap masyarakat Dungkek.
BAB IV: Bab IV ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
J.    DAFTAR RUJUKAN
Daeng, Hans. 1986. Antropologi Budaya. Nusa Tenggara Timur: Nusa Indah
Dyayadi. 2008. Mengapa Etnis Tionghoa Memilih Islam. Yogyakarta: Lingkar Dakwah
Gottschalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press
Ham, Ong Hok. 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Jonge, Huub. 1989. Agama, Kebudayaan dan Ekonomi. Jakarta: CV Rajawali
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS
Lee Tan, Andreas. 2008. Rahasia Kekayaan Orang-orang Cina. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.
Mariyana, Siti. 2007. Pengaruh Budaya Cina Terhadap Arsitektur Dan Masyarakat Kabupaten Sumenep Tahun 1750-1764. Skripsi tidak diterbitkan: Universitas Jember
Moedjijono, Zein. 1979. Rumah Tinggal Tradisional di Kota Sumenep. Proyek Penelitian Madura
Notosusanto, Nugroho.1971. Norma-norma Dasar penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta : Pusat Sejarah ABRI Dephankam
Qurtuby, Sumanto. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa Bongkar Sejarah atas peran Tiongkok dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV-XVI. Jakarta: Inti Inspreal Press
Salim, Agus. 2006. Stratifikasi Etnik: Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina. Yogyakarta: Tiara Wacana
Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa
Sudikan, Setya Y. 1993. Nilai Budaya dalam Sastra Nusantara di Madura. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suparlan, Parsudi (Ed). 1984. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: CV Rajawali
Thomas, Stamford R. 2008. History of Java. Yogyakarta: Narasi
Tim Penyusun. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Yuanzhi, Kong. 2005. Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta: Pustaka Populer Obor
Werdisastra. 1996. Babad Songgenep. Pasuruan: PT Garoeda Buana Indah
Wiriatmadja, Rochiati. 2003. Sejarah dan Peradaban Cina: Analisis Filosofis-Historis dan Sosio Antropologi. Bandung: Humaniora
Widya. 1998. Pengantar Ilmu Sejarah. Semarang: Satya Wacana
Zulkarnaen, Iskandar. 2003. Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep.

Sumber Internet
Koran Tempo. 15 Februari 2005. Imlek berlalu di Desa Dungkek (http://www.muslimtionghoa.com/index.php?action=generic_content.main&id_gc=128 diakses tanggal 13 November 2009).
Lintu. 10 April 2010. Tentara Tartar. Kompas (http//salamsim.blogspot.com/ diakses pada tanggal 13 November 2010 ).












K.  LAMPIRAN FOTO
Foto 1. Rumah tua Cina yang terdapat di Dungkek dengan bergaya Tiongkok dengan lengkungan di kedua ujung atapnya (dokumen foto pribadi Yunita Heksa diambil pada bulan  Juli 2011).
Foto 2. Rumah Latifah yang berangka tahun 1907 dan bertuliskan nama Tan Tuang An di antara sekat atapnya (dokumen foto pribadi Yunita Heksa diambil pada bulan Juli 2011).
Foto 3. Rumah Hasbullah (Alm) yang berangka tahun 1108
            (dokumen foto pribadi Yunita Heksa diambil pada bulan  Juli 2011).
Foto 4. Pemakaman Cina Dungkek (dokumen foto pribadi Yunita Heksa diambil pada bulan  Juli 2011).













L.  GLOSARIUM
Kapitein                 = kapitan Cina, sebuah institusi kolonial dimana seorang Cina ditunjuk sebagai kepala bangsanya. Kapitein adalah jabatan kedua setelah Majoor. Berawal 1620 tetapi secara tidak resmi dimulai pada tahun 1619 dan berakhir sampai pada kedatangan Jepang tahun 1942.
Majoor                   = mayor Cina, jabatan tertinggi opsir Cina.
Opsir Cina             = sebuah institusi kolonial dimana seorang Cina ditunjuk sebagai kepala bangsanya. Secara hierarkis yang tertinggi majoor, yang kedua kapitein dan yang ketiga luitenant (letnan).
Peranakan             = suatu kelompok etnik yang budayanya merupakan perpaduan antara budaya luar, dalam konteks ini Cina dan budaya setempat.
Shè                         = nama klan atau marga.
Totok                      = mulanya istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi suatu kelompok etnik, dalam konteks ini Cina yang secara genetik masih murni. Lalu meluas bukan saja untuk mengidentifikasi secara genetik, tetapi juga secara budaya yang beriorientasi kepada budaya leluhur.
Wijk                        = kampung
Wijkenstelsel           = sistem perkampungan berdasarkan kelompok etnik. Dalam konteks ini orang Cina diharuskan tinggal terpisah dari penduduk setempat di suatu kampung yang disebut Chineesche Wijk (kampung Cina atau pecinan).