Sabtu, 27 November 2010

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Kabupaten Sumenep berada di ujung paling timur dari pulau Madura. Kota Sumenep atau tepatnya Kabupaten Sumenep merupakan satu-satunya kawasan di pulau Madura yang masih memiliki khasanah dan warisan arsitektur tradisional Madura yang masih cukup lengkap. Kawasan ini masih memiliki peninggalan arsitektur tradisional baik dari lapisan masyarakat atas, menengah maupun bawah. Kabupaten Sumenep memiliki banyak peninggalan sejarah berupa Kraton, Mesjid Agung, rumah bangsawan dan rumah rakyat tradisional yang masih cukup jelas.
Rumah-rumah adat masyarakat Madura pada umumnya dibangun dengan posisi bangunan menghadap ke arah selatan. Posisi bangunan ini menjelaskan bahwa sejarah perjalanan leluhur mereka datang dari arah utara ke arah selatan. Karena nenek moyang mereka terdesak dari daerah asalnya. Sedangkan rute perjalanan yang ditempuh untuk menyelamatkan diri melalui jalur laut menuju daerah selatan, karena laut merupakan simbol keselamatan dan masa depan yang penuh harapan (Dinas Pariwisata dan kebudayaan, 2003:24-25).
Peninggalan-peninggalan sejarah di Madura khususnya di Sumenep banyak dipengaruhi oleh kebudayaan asing yang salah satunya adalah kebudayaan Cina dan Belanda. Orang-orang Cina selain datang untuk berdagang juga bekerja sebagai petani, pertukangan serta kerajinan, hal ini terbukti pada masa Panembahan Sumolo, beliau mendirikan tempat tinggal di sebelah timur keraton. Arsitek yang ditunjuk adalah seorang bangsa Cina bernama Lauw Pia Ngo, cucu dari Lauw Khun Thing. Lauw khun Thing adalah salah satu di antara enam orang Cina yang mula-mula datang dan menetap Ia diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut “Huru Hara Tionghoa” 1740 M (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2003: 128). Bangunan ini kemudian terkenal menjadi keraton Sumenep yang sampai sekarang masih utuh, megah dan terawat. Selang waktu pendirian keraton, Panembahan Sumolo juga mendirikan mesjid yang sekarang dikenal dengan Mesjid Agung Sumenep. Arsitek mesjid ini juga Lauw Pia Ngo dari Cina. Selain itu masih banyak lagi peninggalan-peninggalan Cina, karena orang-orang Cina selain berusaha pada bidang perdagangan juga banyak yang tekun pada bidang pertukangan. Jadi dengan kedatangan orang-orang Cina ke Sumenep, banyak mempengaruhi kebudayaan di Sumenep.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tata letak dan lokasi keraton Sumenep?
2. Bagaimana sejarah terjadinya akulturasi di Sumenep?
3. Bagaimana arsitektur bangunan keraton Sumenep?
4. Bagaimana ragam hias bangunan keraton Sumenep?

1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui tata letak dan lokasi keraton Sumenep.
2. Mengetahui sejarah terjadinya akulturasi di Sumenep
3. Mengetahui arsitektur bangunan keraton Sumenep.
4. Mengetahui ragam hias bangunan keraton Sumenep.
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tata Letak dan Lokasi Keraton Sumenep
Keraton Sumenep berdiri diatas tanah milik pribadi Pangeran Natakusuma alias Panembahan Somala (sebelah timur keraton lama milik Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara). Di depan keraton, ke arah selatan berdiri Pendapa Agung dan di depannya berdiri Gedong Negeri yang didirikan oleh Pemerintahan Belanda. Pembangunan Gedong Negeri itu untuk menyaingi kewibawaan keraton Sumenep. Disebelah timur Gedong Negeri tersebut berdiri pintu masuk keraton Sumenep yaitu Labang Mesem. Di bagian pojok disebelah timur bagian selatan berdiri Taman Sare (tempat pemandian putera-puteri Adipati). Sedangkan di halaman belakang keraton sebelah timur berdiri dapur, sebelah barat berdiri sisir (tempat tidur para pembantu keraton, emban, dayang-dayang Puteri Adipati), di sebelah barat terdapat sumur. Di depan sumur agak ke arah barat berdiri Keraton Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara, dan di depannya berdiri pendapa. Tetapi di jaman pemerintahan Sultan Abdurahman pendapa tersebut dipindahkan ke Asta Tenggi dan disitu didirikan Kantor Koneng. Di sebelah selatan Kantor Koneng, di pojok sebelah barat pintu masuk berdiri pendapa (paseban).
Pada mulanya antara keraton dengan pendopo letaknya terpisah. Namun, pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, kedua bangunan tersebut dijadikan satu deret. Di sebelah selatan Taman Sare berdiri Pendapa atau Paseban dan sekarang dijadikan toko souvenir. Di sebelah selatan keraton terbentang jalan menuju Mesjid Jamik (ke arah barat), sedangkan ke arah timur menuju jalan Kalianget. Di sebelah timur keraton adalah perkampungan,dan di arah timur jalan adalah Kampong Patemon. Artinya tempat pertemuan aliran air taman keraton dan aliran-aliran air taman milik rakyat dan Taman Lake’ (tempat pemandian prajurit keraton). Dari jalan Dr. Sutomo ke arah timur terdapat jalan menurun, sebelum tikungan jalan berdiri pintu gerbang keluar atau Labang Galidigan. Di sebelah barat pintu keluar terdapat jalan menurun, bekas undakan tujuh.
Di sebelah selatan jalan undakan terdapat Sagaran atau laut kecil merupakan tempat bertamasya putera-puteri Adipati. Sagaran tersebut ditempati perumahan rakyat dan lapangan tennis. Di sebelah barat lapangan tennis, berdiri kamarrata merupakan tempat kereta kencana, dan dibelakangnya berdiri kandang kuda lengkap dengan dua taman ( Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2003 : 171-172).
Secara geografis keraton Sumenep terletak pada suatu dataran rendah dengan jenis tanah alluvial ( endapan sungai ). Komplek ini berada sekitar 7 km dari pelabuhan Kalianget. Dari tata lokasi keraton berada di sebelah timur alun-alun dan menghadap ke selatan. Di seberang barat alun-alun terdapat mesjid jamik Sumenep yang menghadap ke timur.
Menurut informan pangkal, Saleh Muhammadi, konsep dasar perencanaan site kompleks keraton Sumenep ditentukan berdasarkan ajaran Islam : hablum minallah wa hablum minannas artinya berhubungan dengan Allah dan berhubungan dengan manusia. Maksudnya alun-alun sebagai pusatnya. Bila menghadap lurus ke barat dimaksudkan kita berhubungan dengan Tuhan ( kiblat di Masjidil haram ) dan kita temukan Masjid jamik. Sebaliknya bila kita menghadap ke timur dimaksudkan berhubungan dengan manusia dan kita dapatkan keraton Sumenep. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan ajaran agama Hindu yang mengatakan bahwa timut, arah tempat matahari terbit adalah lambang kehidupan, jadi tempat manusia di alam dunia. Sebaliknya barat tempat matahari terbenam adalah lambang kematian, lambang akherat, dan lambang ketuhanan.
Komplek keraton Sumenep justru tidak menghadap ke barat tetapi ke selatan. Hal ini diperkirakan berhubungan dengan legenda laut selatan ( selat Madura ) tempat bersemayamnya Raden Segoro dan analog dengan legenda di Mataram tentang Nyai Roro Kidul yang konon istri dari Sultan Agung yang bersemayam/bertahta di Segoro Kidul ( Lautan Indonesia ). Dari legenda tersebut menimbulkan dogma turun temurun bahwa rumah tinggal yang baik harus menghadap ke selatan.
Ditinjau dari tapak ( site planning ) terlihat bahwa kompleks bangunan keraton pada prinsipnya menganut keseimbangan simetri dengan menggunakan as/sumbu yang cukup kuat. Hal ini merupakan usaha perencanaannya untuk memberikan kesan agung dan berwibawa dari kompleks ini.
Konon jalan masuk ke kompleks keraton ini ada lima pintu yang dulunya disebut ponconiti. Saat ini tinggal dua buah yang masih ada, kesemuanya berada pada bagian depan tapak menghadap ke selatan. Pintu yang sebelah barat merupakan jalan masuk yang amat sederhana. Sebaliknya di sebelah timur terdapat pintu gerbang yang amat megah dan cantik yang diberi nama Labang Mesem ( pintu yang tersenyum ), maksudnya untuk menandakan keramahan tuan rumah. Perletakan bergeser dari as kuat keraton sehingga justru memberikan saham untuk iut memperlemah as keraton tersebut.
Di bagian depan tampak keraton terdapat dua buah tempat pemandian. Yang di dalam tampak di sebelah timur pendopo dinamakan Taman Sari dan digunakan khusus untuk keluarga keraton. Dibelakang balai roto ( garasi kereta keraton ) merupakan pemandian dengan skala yang lebih besar dan dapat dimanfaatkan juga oleh masyarakat sekitarnya. Di bagian barat kompleks keraton terdapat bangunan Keraton Lama yang didirikan oleh Raden Ayu Tumenggung Tirtonegoro. Keraton lama ini sudah tidak lengkap lagi. Pendoponya dipindah dan didirikan lagi dibagian depan makam asta tinggi. Bangunan yang masih ada adalah Dalem Keraton yang juga menghadap ke selatan. Bentuk bangunannya kini terlihat banyak digunakan pada rumah tinggal tradisional rakyat biasa. Dibagian baratnya lagi terdapat bangunan Langgar Kuno yang beratap tajug ( piramid ) dan denah mirip bentuk joglo. Bangunan ini kaya dengan ukiran gaya Mojopahit, konon bangunan inilah Bendoro Saot menunggu keputusan untuk diambil suami oleh Ratu Tirtonegoro. Di bagian belakang kompleks keraton dahulunya merupakan daerah keputren yang konon terdapat bangunan-bangunan kecil untuk para putri keraton. Daerah ini dibatasi oleh benteng keraton yang terbuat dari pasangan batu bata sehingga benar-benar terpisah dan terlindung dari dunia luar. ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I, 1980 : 277-279 )

2.2 Sejarah Terjadinya Akulturasi Di Sumenep
a. Sumenep dengan Kerajaan Jawa Hindu/Budha dan Islam
Daerah Sumenep dibuka pertama kali sebagai kabupaten oleh Ario Adikoro Wiraraja atau Banyak Wide yang memerintah pada tahun 1269 - 1292. Beliau adalah Bupati yang dibentuk dan diangkat oleh Raja Singasari yang dikenal dengan Raja Kertanegara. Jadi saat itu Sumenep merupakan daerah bawahan kerajaan Singosari. Bupati-bupati pada kurun selanjutnya adalah tetap anak turun dari Ario Banyak Wide dan selalu berkiblat ke arah kerajaan di Jawa ( Nunik dalam Abdurrahman, 1971 ).
Diperkirakan ukiran kayu Jepara dan kesenian Islam yang tersebar di pantai utara Jawa ikut tersebar ke Sumenep sehingga kini tampak pola ukiran Madura di Karduluk Sumenep yang ada kemiripan dengan pola ukiran Jepara. Bahkan sampai sekarang kerajinan ukiran tersebut masih tetap ada, dengan motif-motif yang ada kesamaan dengan motif-motif ukir di Jawa Tengah, meskipun dalam bentuk dan corak yang spesifik menggambarkan karakter Madura, yaitu bentuk pahatan yang tegas dan lugas, serta warnanya yang mencolok ( Nunik, 2007 : 73-74 ).
b. Sumenep dengan Imigran Cina
Kontak antara masyarakat Madura dengan orang-orang Cina diperkirakan berawal pada saat datangnya tentara tartar dari Cina atau Monggolia di Mojopahit ( tahun 1229) yang datang untuk memerangi Kertanegara. Raden Wijaya mulai bersahabat dengan pasukan Tartar, namun demikian akhirnya pasukan Tartar inipun ditumpas dan dihancurkan oleh pasukan Raden Wijaya Mojopahit. Kontak yang kedua terjadi pada masa perang Joko Tole melawan Dempo Awang, abad ke 15. Kontak yang ketiga diper-kirakan terjadi segera setelah Belanda mulai menguasai Madura, abad ke 18. Kontak yang keempat diperkirakan terjadi pada masa pem-berontakan Cina, orang-orang Cina di Batavia menyebar ke daerah-daerah yang dikuasai Kompeni. Hal ini terjadi pada abad ke 18. Di Sumenep banyak kedatangan orang-orang Cina yang kemudian kawin dengan orang Madura dan menetap di sana. Lauw Pia Ngo terkenal sebagai arsitek Keraton Sumenep, pada pemerintahan Panembahan Sumolo, abad ke 18. Pada bangunan Keraton dan Masjid Agung yang kini masih terawat baik, dapat dilihat pengaruh dari arsitektur Cina. Penyelesaian atap dan sebagian ornamen ukir-ukiran pada pintu dan jendela keraton dibuat dengan penuh langgam Cina. Pintu gerbang mengingatkan pada bentuk tembok Tiongkok, mimbar dan mihrabnya diselesaikan dengan porselin dari Cina. Pada rumah tinggal para pangeran juga dapat ditemukan hal serupa. Rumah Pangeran Letnan dan Pangeran Patih, bentuk atapnya mirip rumah koloni Cina yang dapat ditemukan di Batavia dan kota-kota besar di Jawa. Selain bidang perdagangan dan bangunan, banyak orang-orang Cina di Sumenep yang mempunyai usaha pertukangan dan kerajinan, oleh karena itu langgam Cina banyak ditemukan pada ukir-ukiran di Sumenep ( Nunik, 2007 : 74 ).

c. Sumenep dengan Kolonial Belanda
Menurut buku "Tjareta Negraha Song-genep", Kompeni Belanda atau VOC datang di Sumenep pada kurun pemerintahan Raden Bugan (1648-1672), sahabat Raden Trunojoyo. Setelah perjuangan Trunojoyo dapat dipatahkan, maka Pamekasan dan Sumenep kemudian takluk kepada kekuasaan Kompeni. Bahkan sepening-gal Raden Bugan, Kompeni ikut campur menentukan tampuk pemerintahan Sumenep, kemu-dian menentukan Raden Sudarmo, putra tunggal Raden Bugan yang masih remaja, dibawa dan diasuh Kompeni di Batavia. Pada tahun 1704 Pangeran Cakraningrat meninggal dan di Mataram terjadi peristiwa penandatanganan antara Pangeran Puger dengan Kompeni, bahwa Kompeni mengakui kekuasaan Pangeran Puger yang saat itu sedang berselisih dengan Sunan Mas (Amangkurat III). Sebalik-nya Pangeran Puger berkewajiban menyerahkan sebagian dari tanah Jawa dan Madura bagian Timur kepada Kompeni. Dengan demikian untuk yang kedua kalinya Sumenep jatuh ke tangan Kompeni, dimana pada saat itu masa pemerintahan Panembahan Romo (Cokronegoro II). Pada masa pemerintahan Alza (1744-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin Kyai Lesap dari Bangkalan. Pada saat itu Kyai Lesap menggalang kekuatan yang ada pada rakyat yang sudah benci kepada Kompeni. Ia berjuang dari Timur dengan menguasai Keraton Sume-nep. Kyai Lesap memerintah Sumenep hanya dalam waktu 1 tahun yaitu tahun 1749-1750. Pemerintahan berikutnya dipegang oleh Raden Ayu Tirtonegoro (1750-1762) keturunan dari Raden Bugan yang kemudian kawin dengan seorang ulama bernama Bendoro Saud. Bendoro Saud ini kemudian oleh Kompeni dinobatkan sebagai Bupati Sumenep.
Asirudin putra Bendoro Saud dan putra angkat dari Ratu Tirtonegoro, atas permintaan kedua orangtuanya, oleh Kompeni dikabulkan dan diangkat menjadi Bupati Sumenep menggantikan ayahnya. Ia memerintah pada tahun 1762-1811 bergelar Tumenggung Ario Notokusumo atau kemudian terkenal dengan sebutan Panembahan Sumolo. Dialah yang mendirikan Keraton Sumenep pada tahun 1781. Keraton Pejagalan (R. Ayu Tirtonegoro), Keraton Sumenep, Masjid Agung Sumenep dan Makam Asta Tinggi, dibangun pada kurun Sumenep dikuasai Kolonial Belanda. Jadi tidak mustahil kalau pada bangunan-bangunan tersebut akan ditemukan konsepsi arsitektur Kolonial atau pengaruh langgam arsitektur Belanda (Eropa). Pada saat itu Keraton Sumenep di bawah pemerintahan Kolonial Belanda, kondisi ini sudah tentu secara politik menunjukkan adanya dominasi peran pemerintah Kolonial dalam setiap sisi kehidupan pemerintahan, baik sistem pemerintahan, lambang-lambang kerajaan, termasuk dalam bentuk arsitektur bangunan keraton yang menunjukkan adanya pengaruh kuat budaya kolonial (Barat) ( Nunik, 2007 : 74-75 )
2.3 Sejarah Keraton Sumenep
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan keraton Sumenep adalah keraton yang didirikan oleh Panembahan Sumolo, yang terletak disebelah timur alun-alun Sumenep. Istilah keraton ini sebetulnya di berikan oleh rakyat setempat, karena kompleks bangunan inilah satu-satunya peninggalan Kabupaten yang kini masih utuh dan cukup megah di daerahnya ( Sumenep ). Namun apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan Jawa saat itu, maka istilah tersebut kurang tepat, sebab ia jauh memiliki skala yang jauh di bawah skala keraton di Jawa. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam sistem yang dimaksud Sumenep merupakan daerah wilayah pesisir wetan dan sudah di luar daerah monconegoro dari sistem pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Hal ini mengakibatkan meskipun mempunyai skala yang kecil/rendah, namun karena jauh dari pusatnya maka Adipati disini memiliki kekuasaan seorang raja kecil. ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I, 1980 : 273 )
b. Pendiri
Komplek keraton Sumenep didirikan oleh Raden Tumenggung Ario Notokusumo alias Amirudin alias Panembahan Sumolo. Dia adalah putra dari Bendoro Saot dengan Nyai Essa dan meupakan putra angkat dari Raden Ayu Tirtonegoro yang mengawini Bendoro Saot.
Penembahan Sumolo memerintah Sumenep pada tahun 1762-1811. Atas izin pemerintah kolonial Belanda kompleks ini kemudian diperluas oleh pengantinya yaitu Raden Abdurrachman yang bergelar Sultan Abdurrachman Pakunataningrat atau lebih dikenal dengan Sultan Sumenep. Perluasan bangunan ini berupa penambahan bangunan pendopo dengan bangunan dalem keraton. Sultan ini memerintah Sumenep pada tahun 1811-1854. ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I, 1980 : 273-274 )

c. Waktu pendirian
Tahun pendirian keraton Sumenep belum dapat diketahui secara pasti, Drs. Abdurrahman menuliskan bahwa keraton Sumenep dibangun pada tahun 1764. Waktu pendirian keraton Sumenep ini bertepatan dengan masa dimana VOC telah cukup kuat berkuasa di bmi Indonesia ( VOC didirikan pada tahun 1602 ) dan bahkan hampir menjelang kesurutannya. Di daerah Sumenep sendiri kekuasaan VOC saat itu sudah berumur lebih dari satu abad, sehingga peran dan kekuasaa VOC pada pemerintah Sumenep sudah demikian kuat, meskipun secara tidak langsung. Artinya penguasaan VOC terhadap daerah tidak langsung memerintah rakyat, akan tetapi dengan jalan menguasai dan memerintah para bangsawannya. Dengan demikian maka Adipati Sumenep masih tetap memilki kekuasaan atas rakyat dan daerahnya. Bahkan untuk sumber tenaga militer dalam rangka politik ” Divide et Impera ” maka justru VOC menganjurkan Adipati-adipati mendirikan pasukan yang cukup kuat untuk menghadapi rakyatnya, namun akan tak kuasa untuk menyerang Belanda. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980 : 275 )
d. Perencana/arsitek
Atas penunjukan Panembahan Sumolo, keraton Sumenep didirikan atas perencanaan seorang arsitek Cina yang bernama Law Pia Ngo, cucu dari Law Koen Thing yakni satu diantara 6 orang Cina yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep, kira-kira pada masa perang sepehi ( pemberontakan Cina terhadap VOC ) sekitar tahun 1750.( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980 : 275 )
e. Nilai bangunan
Dapat diperkirakan bahwa pada zaman pemerintahan Panembahan Sumolo dan Sultan Sumenep, komplek keraton ini mempunyai nilai yang sangat tinggi bagi daerah wilayah Sumenep, sebab dari tempat inilah kekuasaan pemerintahan dikendalikan. Namun, meski para Bupati/Adipati ini mempunyai otoritas yang besar terhadap daerah kekuasaannya, namun sebenarnya dibelakangnya berdiri kekuasaan yang lebih besar yaitu VOC yang dilanjutkan dengan pemerintahan Hindia-Belanda pada tahun 1800.
Dengan demikian dari segi ekonomi misalnya, Sultan/Adipati masih memiliki tanah yang amat luas yang hasilnya dapat digunakan untuk membiayai kompleks ini. Demikian pula pajak pada rakyat masih tetap dipungut atas nama Sultan/Adipati.
Oleh karena itu kondisi keraton dan rumah tinggal kaum bangsawan pada saat itu mempunyai status yang amat tinggi dan didukung oleh sumber keuangan yang memadai, sedemikian sehingga perawatn kompleks tersebut terjamin.
Kondisi keraton Sumenep pada saat ini juga masih terawat dengan baik, bahkanbaru saja mengalami pemugaran di sana sini, sedemikian sehingga kecuali daerah keputren maka bangunan yang lain masih tetap utuh. ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980 :276 )
2.4 Arsitektur Keraton Sumenep
a. Keraton Sumenep
Lau Pia Ngo juga perencana atau arsitek dari Keraton Sumenep. Keraton Sumenep terletak di tengah kota Sumenep, Ibukota Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur yang berada sekitar 7 km dari pelabuhan Kalianget. Keraton Sumenep berdiri di atas tanah milik pribadi Pangeran Natakusuma alias Panembahan Sumolo.
Keraton Sumenep sebetulnya sebuah “kabupaten” sebab Sumenep memang sejak lama merupakan sebuah kabupaten, namun dulu Sumenep merupakan daerah yang diperintah sendiri oleh raja-raja Sumenep. Sampai sekarang penduduk Sumenep masih menamakannya “keraton”, biarpun secara resmi adalah sebuah kabupaten. Keraton ini kini berada di bawah pengawasan Dinas Purbakala, karena menjadi satu-satunya kabupaten yang tidak dibuat oleh Belanda, tetapi oleh orang Indonesia ( Mari dalam Ong Hok Ham, 2005:17).
Madura mendapat pengaruh yang kuat dari Jawa. Sepanjang yang diketahui Madura merupakan bagian dari kerajaan Hindu dan kekuasaan Islam yang pusatnya terletak di Jawa, seperti misalnya di Singosari, Majapahit, Demak, Kudus, Gresik, Surabaya dan Mataram. Madura pada zaman dulu mempunyai hubungan keluarga denagn bangsawan Jawadan meniru-niru cara hidup keraton Jawa. Walaupun keadaannya kebudayaan Madura mempunyai cirri khas sendiri dan telah melalui proses pengembangannya sendiri ( Jonge, 1989 : VIII )
Pengaruh Cina, Belanda dan Jawa terlihat jelas pada bangunan-bangunan sebagai berikut :


 Pendopo
Pendopo Agung Sumenep merupakan satu-satunya keraton yang masih ada dan terpelihara di Sumenep Madura bahkan di Jawa Timur. Pendopo Agung Kraton Sumenep dibangun sekitar tahun 1762 oleh raja Sumenep ke XXXI yang bernama Sumolo. Keindahan dari bangunan ini dapat kita lihat dari segi arsitekturnya yang merupakan perpaduan antara arsitektur Jawa dan Cina.
Lantai bangunan ini pendopo sangat rendah dari tanah sekitarnya yaitu sekitar 10 cm dari muka tanah. Adapun konstruksinya memilih konstruksi dari kayu jati dengan langit-langit dari papan kayu jati. Atapnya berbentuk limasan dan sinom (sudut rendah) jenis apitan (panjang bersambung) dengan penutup atas dari genteng yang selalu memiliki akhiran bubungan dari plesteran yang mencuat ke atas. Bentuk terakhir inilah yang mengingatkan kita pada bentuk atap rumah kaum Cina baik di Indonesia maupun di negeri Cina. Model arsitektur seperti ini yang diintrodusir kesenian Cina pada bangunan ini ( Mari, 2008 : 40 )
 Dalem (Bangunan Induk)
Bangunan ini berlantai dua ( berloteng ) dengan penutup atap bentuk kampong dengan kedua top gevel ( gunung-gunung ) yang menerus keatas tanpa cucuran atap. Pada puncak top gevel ini terbuat bentuk mirip cerobong asap bangunan di daerah dingin, seperti yang terdapat di negeri Belanda. Di Indonesia bentuk tersebut sering dapat kita temukan pada rumah tradisional Belanda atau Cina di kota-kota besar. Namun bentuk demikian justru jarang terlihat pada arsitektur Cina di RRC. Jadi jelaslah bahwa bentuk tersebut bawaan orang-orang Belanda dari negerinya.
Lantai bangunan dalem ini cukup rendah, sekitar 10 cm diatas permukaan tanah sekitarnya. Dindingnya merupakan tembok pemikul dan kontruksi kap dari kayu jati. Penutup atap dari genteng dengan hubungan dari plesteranyang berakhir diatas top gevel berupa bentuk Cerobong Asap.
Kosen pintu dan jendela pada bamgunan ini mempunyai skala yang demikian tinggi yakni sekitar 3.00 M ( tingginya daun pintu ). Skala ini digunakan kemungkinan dimaksudkan sebagai usaha memberikan suasana agung ( monumental ). Dipihak lain, bentuk pitu dan jendela ini mirip dengan hal yang sama pada arsitektur Belanda yang mana pintu dan jendela yang besar dan memakai kaca yang cukup besar dimaksudkan untuk memasukkan sinar matahari sebanyak mungkin. Hal ini dapat kita maklumi karena negeri Belanda memang merupakan daerah dingin.
Kosen-kosen untuk ruang dalam pada lantai bawah dihiasi denagn ukir-ukiran berbentuk sulur-suluran berwarna kuning emas dan berlatar belakang merah darah. Pada pintu tengah dalem, bagian atasnya terdapat bagian ventilasi yang dihiasi dengan ukir-ukiran berbentuk sulur-suluran yang transparan ( berlubang-lubang ) dan pada bagian tengah terdapat lingkaran berisi tulisan arab yang konon berbentuk sangkalan untuk menyatakan kapan keraton didirikan.
Pada kosen jendela dikiri kanan pintu tersebut dimuka terdapat juga ukir-ukiran berbentuk sulur-suluran dengan disana sini terdapat ukiran burung merak ( phoenix ). Dari sini kelihatan penyisipan unsur Cina pada ukiran gaya Mojopahit/Mataram.
Pada jendela loteng yang menghadap ke selatan dan utara terdapat banyak jendela kaca berukuran cukup lebar. Pada bagian top gevel, jendelanya ditutup dengan pintu krepyak kayu jati. Karena top gevel ini tanpa cukit ( sosoran atap ) maka terpaksa jendela-jendela disini bercukit sendiri-sendiri.
Ruang-ruang bagian bawah ( ground floor ) mempunyai suasana yang sejuk, sakral dan cukup monumental. Perabotannya cukup mewah dengan ukiran-ukiran yang rumit dan mewah. Pada teras belakang terlihat satu kursi panjang yang berukuran mahkota ( kroon ) yang konon merupakan hadiah dari Eropa ( Belanda/Inggris ).
Ruang-ruang pada lantai bawah terdiri dari : teras depan, ruang tengah, 2 kamar tidur besar dan 2 kamar tidur kecil/sedang masing-masing berukuran 49 dan 28 M2. Dibagian terdapat teras belakang, gadri, dan dikiri kanan teras tersebut terdapat sentong yang satu diantaranya ( bagian timur ) digunakan digunakan untuk ruang tangga kelantai atas. Pada lantai atas terdapat tiga buah ruangan yang mempunyai suasana yang tenang. Ruang-ruang ini berfungsi sebagai ruang pengamat lingkungan dan juga sebagai ruang sepen ( menyepi ).
Pada sayap kiri dan kanan bagian belakang bangunan dalem terdapat bangunan pelayanan antara lain : dapur, kamar mandi, WC, gudang, musolla, kamar pembantu dan lain-lain. Skala ruang disini cukup intim ( skala manusia ).
Pada sayap bagian depan bangunan dalem terdapat bangunan-bangunan admistratif dengan bentuk depan sebagai bangunan Landhuis dengan pilar-pilar Yunani skala pintu yang amat tinggi dan sebagainya, mempelihatkan bangunan ini banyak dipengaruhi arsitektur Belanda. Bangunan sbelah timur untuk keperluan admistrasi Sultan dan bagian barat untuk keperluan sekretaris Sultan. Yang terakhir digunakan untuk kantor Sekretaris Daerah Kabupaten Sumenep.
Berbeda dengan dua bangunan didepannya maka bangunan dale mini mempunyai konstruksi yang berbeda, yakni konstruksi tembok pemikul ( bearingwall ). Bangunan-bangunan yang lain ternyata system kolom. Konstruksi dinding pemikul ini dipilih diperkirakan karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
 Adanya loteng diatasnya sedemikian hingga sehingga beban yang harus dipikul menjadi lebih berat.
 Saat itu belum dapat menggunakan system konstruksi yang lebih advance.
Dari bangunan dalem dan bagian-bagiannya tampak adanya pengaruh arsitektur Jawa, Belanda dan Cina serta kesenian Islam ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I, 1980 : 284-286 ).
 Labeng Mesem
Jalan masuk ke kompleks Keraton Sumenep ada dua buah, kesemuanya berada pada bagian depan tapak menghadap ke selatan. Pintu yang sebelah barat merupakan jalan masuk yang sederhana, sebaliknya di sebelah timur terdapat pintu gerbang yang amat megah dan cantik yang bernama Labeng Mesem.
Labeng mesem artinya pintu (gerbang) yang tersenyum. Hal ini dimaksudkan sebuah pintu yang ramah sesuai dengan ajaran Islam untuk kita selalu memuliakan tamu kita, sebagai perwujudan ukhuwah Islamiah ( Mari, 2008 : 41 ). Pintu gerbang ini dari luar tampak sebagai bangunan bergaya partheon ( Yunani ), namun mempunyai atap susun tiga yang mirip atap pagoda di RRC. Bangunan ini mempunyai konstruksi tembok pemikl dengan tebal kurang lebih 50 cm. Selain ruang masuk ( corridor ) yang mempunyai skala amat tinggi sehingga kendaraan bisa lewat, dikiri kanannya terdapat ruang-ruang samping ( istirahat penjaga ) yang mempunyai skala yang amat rendah sehingga untuk keluar masuk tersebut penjaga terpaksa membungkuk karena pintunya yang amat rendah dan di dalam ruang dia harus duduk bersila ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I, 1980 : 287 )
Tata bangunan keraton secara keseluruhan menunjukkan bahwa bangsawan dalemlah yang paling tinggi, baru kemudian bangunan pendopo. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa bagaimanapun mulia dan tinggi derajatnya tamu, namun tuan rumah tetaplah pemegang kekuasaan tertinggi di dalam tapak miliknya itu. Dengan kata lain meskipun tamu dimuliakan namun tuan rumah tetap menunjukkan ketinggian wibawanya. Falsafah yang demikian banyak dipakai pada bangunan tradisional Cina. Jadi konsep ini diintrodusir oleh Lau Pia Ngo dari konsep bangunan rumah tinggal bangsa Cina.
Kebudayaan yang ada pada Kraton Sumenep sampai saat ini menjadi kebudayaan masyarakat Sumenep. Hal ini dapat kita lihat dari bahasa, kesenian, dan bentuk rumah tinggal. Masyarakat sumenep mayoritas beragama Islam yang mempunyai sifat lunak hati/penurut yang dapat jadi pemimpin dan dapat dipimpin oleh siapa saja yang memimpin pasti menurut dan taat. Namun dibalik lunak hati dan penurut, masyarakat Sumenep juga memilki sifat mendorogo adalah suatu sifat masyarakat sesepuh dan pimpinan Sumenep yaitu sifat ksatria, berani, tanggung jawab dan disiplin murni. Mereka juga masih tetap percaya terhadap benda-benda gaib, tempat keramat dan roh ( Mari, 2008 : 42 )
 Mandiyoso
Bangunan ini mempunyai bentuk Kampung Srotongan, berhubunagn langsung dengan Pendopo dan Dalem. Konon bangunan ini dibuat oleh R.T Abdurrahman Pakunataningrat ( Sultan Sumenep ). Lantainya amat rendah yakni sekitar 10 cm dari permukaan ranah sekitarnya. Tiang-tiang tengah berupa pilar bata berbentuk segi empat panjang namun diberi hiasan pilar-pilar bentuk Ionie Yunani ( sudah tak murni ). Di sini kita bisa lihat masukan unsure arsitektur Belanda yang diambil dari Yunani.
Kontruksi atap ( kap ) dari kayu jati dengan plafon dengan kayu jati pula. Pemasangan papan ini sejajar dengan sisi terpanjang bangunannya, sehingga memberikan kesan semakin panjang ruang penghubung ini ( gallery ), bubungan atap terbuat dari pasangan/plesteran lurus dan berhenti di kedua bangunan Pendopo dan Dalem ( Departemen Penddika dan Kebudayaan R.I, 1980 : 284 )
 Gedong Loteng
Bangunan ini terletak di depan Pendopo, di seberang halaman depan dan sekaligus merupakan pagar depan kompleks keraton. Bangunan ini dulunya dimaksudkan untuk keperluan pejabat-pejabat Belanda ( VOC ) yang menginap di keratin Sumenep dan sekaligus merupakan kantor administrasi VOC.
Pada bagian atas ( lantai loteng ) memiliki beberapa ruang dengan jendela-jendela kaca yang menghadap keluar ( depan ) dan ke dalam komplek keraton ( belakang ). Dengan demikian dari loteng ini orang dapat dengan mudah melihat keluar ke arah keraton dan kedepan keraton.
Pada bagian lantai bawah ruang-ruangnya menghadap ke depan ( keraton ) dengan mempunyai pintu-pintu yang lebar. Sedangkan untuk ke arah dalam keraton ( utara ) hanya terdapat dua pintu kecil yang masing-masing membuka ke arah barat dan timur dan relative tersembunyi.
Lantai bangunan ini ternayat mempunyai perbedaan yang mencolok pada ketinggian lantainya dengan bangunan-bangunan keraton. Bangunan ini tinggi lantainya sekitar 40 cm, jadi lebih dengan lantai bangunan-bangunan keraton yang hanya sekitar 10 cm.
Hal ini memang konsep dari VOC yang tercermin kedalam fisik bangunan bahwa bagaimanapun kolonial Belanda adalah tetap penguasa yang mempunyai status yang lebih tinggi daripada penguasa setempat. Dari lantai bawah tampak VOC tidak mau ikut campur secara langsung masalah intern keraton, namun sebaliknya dia tetap dapat mengawasi dari lantai loteng. Dari ketinggian lantai juga dapat digambarkan perbedaan kuasa.
Bangunan-bangunan ini berfungsi sebagai kantor-kantor Pemda Kabupaten Sumenep yaitu untuk kantor Kebudayaan Kabupaten. Kondisi bangunan kurang begitu terawatt bila dibanding dengan bangunan-bangunan keraton lain ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980 : 287-288 ).
 Rumah Tinggal Pangeran Letnan ( Kusumo Sinerangingrono )
Kusumo Sinerangingrono adalah Komandan Pasukan Infantri Sumenep ( pasukan jalan kaki ). Tata banguan Dalem lebih tinggi dari banguanan-bangunan yang lain. Hal ini mengingatkan kita pada falsafah arsitektur Cina. Bangunan Dalemnya merupakan tipe sekot pecinan yaitu bentuk kampung dengan gunung-gunung tepi yang menjulang ke atas.
Tipe ini dikembangkan oleh bangsa Cina di Indonesia dari arsitek colonial Belanda pada awal masa penjajahannya di Indonesia. Tipe ini sudah tidak disukai lagi oleh orang-orang Madura sekarang karena pemunculannya menentang iklim tropis di daerah ini ( Mari, 2008 : 42 )
 Rumah Tinggal Patih Pringgoloyo
Patih Pringgoloyo adalah putra Raden Tumenggung Suro Adimenggolo Bupati Semarang, patih dan ipar Sultan Sumenep. Bangunan Dalem lebih tinggi dari bangunan-bangunan lain (falsafah arsitektur tradisional Cina). Bangunan ini berbentuk sekot pecinan. Tinggi lantainya sekitar 1,20 meter dari permukaan lantai. Peletakan ruang-ruang dan pintu-pintunya simetris ( Mari dalam Wiryoprawiro, 1986 : 113 ). Kondisi ini memberikan suasana yang megah. Atapnya berbentuk kampung dengan gunung-gunung kiri kanan yang ditinggikan sehingga tanpa ada cukil. Bangunan atapnya dari genteng. Konstruksinya memakai sistem dinding pemikul dari tembok batu bata.
Bangunan-bangunan yang direncanakan oleh arsitek Cina (Lau Pia Ngo), jika dilihat dari tapak bangunan pada umumnya rumah tipe pecinan tidak ada cukit samping, jadi gunung-gunungnya terus ke atas mirip dengan penyelesaian rumah-rumah di daerah dingin (Nederland). Hal yang demikian kurang cocok untuk daerah tropis karena dinding samping akan terkena panas dan hujan, demikian pula jendela-jendela yang terpasang di tempat itu ( Mari dalam Wiryoprawiro, 1986 : 120 ).
 Rumah Tinggal Rakyat
Umumnya pada rumah-rumah Cina menghadap ke arah utara dan selatan, ini dikaitkan dengan arah sinar matahari, dimana kalau rumah menghadap utara atau selatan akan mendapatkan sinar pagi dan sore terus menerus dan ini melambangkan adanya rezeki/keuntungan yang langgeng. Demikian juga dengan adat kebiasaan orang Madura untuk membangun rumahnya selalu menghadap utara/selatan atau dikenal dengan istilah mojur are yaitu arah bubung rumah sejajar dengan arah timur barat.
Di dalam rumah-rumah rakyat biasanya terdapat pangkeng (kamar belakang). Kata pangkeng ini ternyata istilah dari Cina yaitu pangking (belakang). Selain itu kata loteng juga merupakan istilah Cina yaitu lou-ding (dilafalkan lao-ding) ( Mari dalam hasil wawancara dengan bapak H.D Zawawi Imron, 27 januari 2007 ).
Rumah pecinan adalah bentuk rumah yang paling sederhana dengan bercirikan bubung memanjang (membujur) dari depan ke belakang. Rumah pecinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yang pertama adalah pecinan biasa yang bercirikan pada bagian depan menggunakan teras, yang kedua adalah pecinan paris yaitu sebuah bentuk baru tanpa teras. Rumah pecinan yaitu model bangunan rumah yang menggunakan gaya arsitektur Cina yang banyak terdapat di daerah perkotaan. Rumah model pecinan biasa adalah yang paling yag paling umum di Madura karena menggunakan teras (amper) yang dilihat dari fungsinya mencerminkan makna sosial bagi sang pemilik sebagai sektor publik. Pecinan paris yang banyak terdapat di daerah perkotaan dengan tanpa teras maka bangunan dapat lebih di kedepankan dan dapat difungsikan untuk berjualan ( Mari, 2008 : 43-44 )
 Rumah Tinggal Lau Pia Ngo
Lau Pia Ngo adalah salah satu dari enam orang Cina yang datang dan menetap di Sumenep. Lau Pia Ngo juga merupakan arsitek keraton dan Mesjid Agung Sumenep. Atas jasanya itu Lau Pia Ngo diberi tanah oleh Panembahan Sumolo. Rumah tinggal Lau Pia Ngo, tata letak rumah tinggal induk dan rumah sembahyang atau mushola menghadap kearah timur yaitu menghadap ke keraton Sumenep. Menghadapnya rumah ini memang atas perintah dari Raden Ayu Tirtonegoro (Istri dari Bendoro Saud). Kejadian ini menunjukkan perhatiannya Sultan terhadap jasa-jasa Lauw Piango sebagai arsitek dan pelaksana pembangunan kraton dan Mesjid Agung Sumenep dan juga untuk menunjukkan tanda kesetiaan Lauw Pia Ngo kepada Sultan. Arah bangunan ini merupakan sesuatu yang unik untuk kebiasaan adat bangsa Cina dan adat orang Madura. Rumah tinggal Lau Pia Ngo, bentuk bangunannnya merupakan campuran antara pengaruh tradisional Cina dan Eropa. Pengaruh Cina terlihat dari bentuk atapnya, dimana atap diakhiri oleh gevel tembok tanpa ada verstek atap serta bubungan di plester dengan bentuk melengkung ke ujung. Dimana masyarakat Madura menyebutnya tipe rumah sekot Pecinan. Corak Cina juga terlihat pada bentuk atau detail dan ornamen-ornamen yang dijumpai pada tiang penyangga sosoran atap, detail-detail bubungan, hiasan-hiasan pada daun pintu dan sebagainya. Bangunan ini masih ada sampai sekarang, namun bangunan ini sudah tidak berpenghuni dan sudah dijadikan sarang burung walet. Bangunan ini tidak direnovasi dan tetap merupakan bangunan tahun 1764.
Luas tata ruang merupakan perpaduan antara konsep budaya Cina dengan pola tanean. Penampilan bangunannya bergaya Cina baik top gevelnya skur-skurnya maupun kosen pintu jendelanya. Pada bagian persil sebelah barat terdapat banguanan ibadah sesuai dengan pola tanean. Program ruang dan skala ruang terasa lebih manusiawi sehingga lebih cocok dengan suasana kini yang lebih demokratis ( Mari dalam Wiryoprawiro, 1986 : 163 )
Ciri khas dari rumah-rumah orang Cina dengan tipe kuno adalah bentuk atapnya yang selalu melancip pada ujung-ujungnya dan terdapat banyak ukir-ukiran pada tiang-tiang dari balok dan sebagainya. Rumah-rumah tipe seperti ini banyak dijumpai di kampung pecinan biasanya di dekat pelabuhan.
Di bidang seni ukir, budaya Cina juga berpengaruh. Bentuk ranjang dan ukiran Madura banyak dipengaruhi seni ukir Cina, misalnya di Asta Tinggi. Asta Tinggi adalah situs pemakaman raja-raja dan anak keturunan beserta kerabat-kerabatnya yang dibangun sekitar tahun 1750 M. Asta Tinggi terletak di pinggiran sebelah barat kota Sumenep, di sebelah dataran tinggi di desa Kebonagung. Pada kumpulan makam tertua, yang terletak dibelakang sendiri memiliki sebuah gebyok berukir ynag sangat besar. Ukirannya sedemikian lebar sehingga dapat dipakai atau menutup atau melatarbelakangi sisi sebuah pendopo zaman dulu. Menurut cerita, gebyok berukir ini dulunya adalah milik si terkubur yang dipakai pada masa hidupnya. Ukiran kayu ini dibawa dan dipasang di ruang makam pemilik berikut seluruh pendoponya yang terdiri dari soko guru dan langit-langitnya. Penggantinya tentunya membuat pendopo dan gebyok ukiran kayu baru lagi.
Di Sumenep juga banyak keramik-keramik Cina. Misalnya mangkok sendok, teko, guci yang berelief motif prajurit Cina dan tempat tinta yang mana dulu digunakan oleh raja-raja Sumenep. Barang-barang tersebut sampai sekarang terdapat di Museum Sumenep dan masih terpelihara dengan baik. Pada umumnya benda-benda keramik Cina dipergunakan dalam acara khusus dan hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan ( Mari, 2008 : 45-48 )
 Bangunan-Bangunan Lain
Pada bagian depan sebelah barat tampka terapat bangunan paseban denagn atap bentuk tajug dari genteng. Bangunan ini semula bersifat terbuka tanpa dinding, berfungsi sebagai tempat para abdi dalem ( pegawai istana ) dan rakyat biasa yang menghadap Adipati/Sultan.
Di sebelah bagian tengah tapak di sebelah barat bangunan Mandiyoso terdapat bangunan yang sekarang disebut dengan Gedong Koneng dari bahasa Belanda Koninglijk. Bangunan ini semula sebagai kantor Patih. Bangunan ini menampakkan gaya arsitektur Belanda dengan ornament tembok, ukuran pintu dan jendela-jendela serta ketinggian langit-langit yang mirip dengan bangunan di negeri Belanda.
Pada timur laut bangunan tersebut terdapat Dalem Keraton Lama. Bangunan ini mempunyai bentuk atap limas yang mempunyai emperan ke depan dan ke belakang, sedang ke kiri dan ke kanannya hanya terdapat cukit yang relative pendek. Bangunan ini memiliki ruang-ruang : teras depan, ruang tengah, kamar tidur di kiri dan kanannya, akan tetapi mempunyai teras belakang, hanya terdapat pintu tengah ke belakang.
Tata keraton secara keseluruhan menunjukkan bahwa bangunan dalemlah yang paling tinggi baru kemudian bangunan pendopo. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa bagaimanapun mulia dan tinggi derajatnya tuan rumah tetaplah pemegang kekuasaan tertinggi didalam tampak miliknya itu. Dengan kata lain meskipun tamu dimuliakan namuntuan rumah tetap menunjukkan ketinggian wibawanya. Falsafah yang demikian banyak dipakai pada bangunan tadisional Cina dan tidak demikian halnya pada bangunan tradisional Jawa. Jadi konsep ini diintroduksir oleh Lauw Pia Ngo dari konsep bangunan rumah tinggal bangsa Cina ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I, 1980 : 288-289 ).
2.4 Ragam Hias Keraton Sumenep
Bupati ke 16 adalah R.T Kanduruan, putra Raden Patah, Raja Islam Demak. Sedangkan Bupati Sumenep ke 21 yakni Pangeran Anggadipa adalah putra Jepara, Jawa Tengah, dengan demikian maka kiblat kekuasaan dan kebudayaan Sumenep kini beralih ke Jawa Tengah sesuai dengan perpindahan kekuasaan saat itu. Maka terjadilah akulturasi kebudayaan Madura dengan kebudayaan Jawa. Diperkirakan ukiran kayu Jepara dan kesenian Islam yang tersebar di pantai Utara Jawa ikut tersebar ke Sumenep sehingga kini tampak pola ukiran Madura di Karduluk Sumenep yang ada kemiripan dengan pola ukiran Jepara. Bahkan sampai sekarang kerajinan ukiran tersebut masih tetap ada, dengan motif-motif yang ada kesamaan dengan motif-motif ukir di Jawa Tengah, meskipun dalam bentuk dan corak yang spesifik menggambarkan karakter Madura, yaitu bentuk pahatan yang tegas dan lugas, serta warnanya yang mencolok.
Pada makam Pangeran Pulang Jiwa juga dihiasi dengan gebyok ukiran kayu sebagai latar belakangnya. Pada ragam hiasnya terasa sekali pengaruh Cina seperti ragam hias burung yang berupa burung phoenix (dalam budaya Cina burung bersifat mistik dan dianggap raja segala burung yang diartikan keberuntungan dan kehangatan) yang selalu ditempatkan di tengah-tengah, menjadi pusatnya. Panil-panil ukiran kayunya berbentuk persegi empat dengan bingkai-bingkai persegi biasa. Antara panil dengan bingkainya dibatasi oleh ragam hias kurung yang ujung-ujungnya saling memotong dengan melengkung kedalam. Ragam hiasnya berupa pohon dan binatang yang digambarkan lebih realistis. Dapat kita lihat pohon teratai yang tumbuh di atas air menjulang keatas keluar dari air beserta bunga-bunganya yang dikerumuni oleh sekawanan burung kecil-kecil beterbangan dengan riang gembira. Pada panil yang lain, sebatang pohon keras dengan daun dan buahnya ditenggeri oleh beberapa ekor ayam hutan. Adanya burung phoenix dan ragam hias jurung menandakan kuatnya pengaruh Cina pada ukiran kayu ini. Begitu pula warnanya yang coklat kemerahan dan emas pada gambar-gambarnya. Dasar di bidang ukiran ini diberi warna merah, biru membuat warna emas ukirannya sendiri jadi sangat menonjol. Selain itu seni ukir di desa Karduluk juga banyak yang dipengaruhi oleh seni ukir Cina, seperti tempat tidur yang berukiran burung kirin dan naga (dalam budaya Cina naga dianggap dewa pelindung yang bisa memberikan rezeki, kekuatan, dan kesuburan) bahkan batik Madurapun (di desa Pakandangan) ada yang bernuansa Cina yaitu dengan adanya hiasan burung kirin ( Mari dalam hasil wawancara dengan bapak Edi Setiawan,SH,26 Januari 2007 ).








BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapt kita simpulkan hal-hal sebagai berikut :
 Istilah keraton Sumenep sebenarnya kurang proposional akan lebih akurat dengan istilah Kadipaten atau Kabupaten.
 Keraton Sumenep didirikan pada masa pemerintahan Panembahan Sumolo ( abad XVIII. Pada saat itu VOC telah berkuasa di Sumenep sekitar satu abad.
 Perencana keraton ini adalah Law Pia Ngo seorang bangsa Cina. Pengaruh kesenian Cina terlibat pada bangunan tersebut.
 Keraton mempunyai nilai yang begitu tinggi di daerahnya bahkan di pulau Madura karena merupakan satu-satunya kompleks keraton yang masih lengkap.
 Kompleks keraton ini merupakan pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan bagi kawasan Sumenep, untuk saat itu maupun masa kini.
 Kompleks keraton dan sekitarnya merupakan kekayaan dari keluraga besar bangsawan Sumenep yang tergabung dalam “perfas”. Milik ini dihibahkan oleh Sultan Abdurrahman keluarga besar yang selanjutnya.
 Tata lokasi keraton terhadap pusat kota mempunyai konsep yang sangat jelas berdasarkan ajaran Islam. Adapun menghadapnya keraton kearah selatan karena pengaruh legenda Raden Segoro/Nyai Roro Kidul.
 Baian depan tampak tidak mendukung perwujudan fisik keagungan keraton baik cara masuknya, sudut pandangnya, gedong loteng yang menutupnya maupun ketinggian lantainya.
 Tata tanam dan halaman mirip dengan konsep tata tanam di Jawa.
 Konsep ruang dalam memilih keseimbangan simetri dalam tapak. Namun saying sumbu keseimbangannya hilang di luar tapak, sehingga kesan wibawa diluar tapak menjadi hambar.
 Zoning ruang-ruang dalam secara berangsur-angsur mengalami perubahan gradasi semakin kebelakang semakin bersifat pribadi.
 Konsep tat ruang dalam memakai system keseimbangan simetri dan opened ended plan. Hal ini merupakan lanjutan konsep tata ruang dalam dari bangunan Landhuis.
 Terlibat adanya konsep fisik yang tersembunyi untuk memperendah wibawa Sultan. Hal ini merupakan kemauan VOC yang dimaksukkan kedalam perencanaan fisik oleh Lauw Pia Ngo.
 Bentuk-bentuk bangunan pada umumnya bentuk dasar bangunan Jawa yang kemudian diramu dengan arsitektur Belanda, Cina dan kesenian Islam.

































DAFTAR RUJUKAN

Iskandar, Zulkarnain DKK. 2003. Sejarah Sumenep. Sumenep : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep.
Jonge, De Huub. 1989. Agama, Kebudayaan dan Ekonomi. Jakarta : Rajawali.
Mariyani, Siti. 2008. Pengaruh Budaya Cina Terhadap Arsitektur Dan Masyarakat Kabupaten Sumenep Tahun 1750-1764. Disertasi tidak diterbitkan. Jember : Universitas Negeri Jember.
Moedjiono, Zein W.P. 1980. Keraton Sumenep. Kumpulan Makalah Lokakarya Penelitian Sosial Budaya Madura. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
Muwandhani, Nunuk Giari. 2007. Arsitektur Interior Keraton Sumenep Sebagai Wujud Komukasi dan Akulturasi Budaya Madura, Cina dan Belanda. Abstrak, Vol 5, No 2, ( http://google.com, diakses pada 8 Maret 2009 )
























LAMPIRAN-LAMPIRAN FOTO KERATON SUMENEP








Gambar 1. Tampak dari depan bangunan Pendopo, lantainya yang amat rendah, atap rumah Jawa tipe Limasan Sinom dengan bubungannya diselesaikan
mencuat ke atas mirip hiasan bubungan Klenteng















Gambar 2. Tampak dari depan bangunan Labeng Mesem, atapnya mirip dengan
Pagoda Cina










Gambar 3. Rumah rakyat seperti bentuk Pecinan, yang mendapat pengaruh budaya Jawa.










Gambar 4. Tampak dari timur Dalem Keraton, nampak dinding temboknya telanjang tanpa teritis, mirip dengan dinding Klenteng.














Gambar 5. Mandiyoso















Gambar 6. Kusen jendela dalam bangunan induk penuh dengan ukiran sulur-suluran warna keemasan dengan latar belakang warna merah darah, nampak juga gambar burung Phoenix diantaar sulur-suluran, masuklah elemen kesenian Cina, dalam budaya Cina warna tersebut memiliki arti keagungan











Gambar 7. Guci yang bermotif naga















Gambar 8. Tempat tidur yang mendapat pengaruh Cina yaitu adanya ukiran burung kirin dan burung hong















Gambar 9. Mangkok besar dari Tongan (Cina), sendok serta teko dari Guangdong
(Cina)
GLOSARIUM

Labeng mesem = pintu yang tersenyum
Pangkeng = kamar belakang
Tanean = halaman rumah
Amper = teras rumah
Labeng galidigan = pintu gerbang masuk/keluar
Taman lake’ = taman untuk kaum laki-laki
Gedong koneng = gedung yang berwarna kuning
Mojur are = arah bubung rumah sejajar dengan arah timur barat/matahari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar