Selasa, 15 November 2011


BAB I. PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Permasalahan
Pulau Madura terletak di timur laut pulau Jawa. Madura adalah pulau yang berpenduduk padat. Pulau ini memiliki 4 (empat) kabupaten yaitu kabupaten Bangkalan dengan ibu kota Bangkalan, kabupaten Sampang dengan ibu kota Sampang, kabupaten Pamekasan dengan ibu kota Pamekasan, kabupaten Sumenep dengan ibu kota Sumenep (Jonge, 1989 : 11). Jika mendengar kata Madura, yang terbayang pertama kali adalah tanah yang kering, tandus dan panas, serta masyarakatnya yang selama ini dikenal bertemperamen keras memiliki budaya carok (duel hidup mati bagi laki-laki Madura menggunakan clurit).  Keempat kabupaten ini di Madura mempunyai objek  dan wisata yang cukup banyak, tetapi secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu berupa wisata alam dan wisata budaya. Wisata alam  terdiri atas wisata petani, pulau-pulau dan wisata alam bebas, sedangkan wisata budaya meliputi wisata monument budaya dan wisata kerajinan. Pada tahaun 1990 objek wisata yang tersebar di empat kabupaten tersebut dikunjungi wisatawan sebanyak 306.341 orang, yang tediri  atas 99,93 persen wisatawan nusantara dan sisanya 0,17 persen wisatawan mancanegara. Tujuan utama wisman yang datang ke Madura adalah kabupaten Sumenep (Soeladi, 1992:8). Sedangkan wisatawan yang berkunjung ke Sumenep sebanyak 179.468 orang, yang terdiri atas 179167 orang wisatawan nusantara dan sisanya 301 orang wisatawan mancanegara (Data Pengunjung Dinas Pariwisata Kabupaten Sumenep).
Kabupaten Sumenep merupakan suatu wilayah dengan status daerah tingkat II atau kabupaten yang terletak di bagian timur pulau Madura. Wilayahnya cukup luas, terdiri  atas Sumenep daratan dan Sumenep kepulauan. Secara geografis daerah Sumenep berada pada ketinggian antara 250 – 450 m di atas permukaan laut, sedangkan letak astronominya adalah antara 1130  30’ sampai 1160 BT, dan 60 sampai 70  30’ LS (Moelyono, 1984:6). Luas wilayah Kabupaten Sumenep 185.759 Km2, terdiri dari 22 Kecamatan dan 331 Desa (Syamsul Imam, 1986:2-3).
Kabupaten Sumenep memiliki potensi wisata yang sangat besar. Apabila digali akan menjadi suatu kekuatan ekonomi yang potensial. Perkembangan Kabupaten Sumenep dipengaruhi oleh adat-istiadat, tradisi dan berbagai budaya. Keadaan tersebut menjadikan Kabupaten Sumenep memiliki karakteristik yang unik (Dinas Pariwisata, 2000:1-5).
Beberapa produk budaya di kabupaten Sumenep antara lain: kerapan sapi, sape sono’, tan-pangantanan, kesenian ludruk, saronen, orkes tongtong, musik gamelan (klenengan), mamaca (macopat), ojhung, tarian muangsangkal, upacara adat nyadar, upacara perkawinan,  upacara adat penganten ngekak sangger dan upacara petik laut. Semua hasil tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat Sumenep sangat menghormati leluhurnya dan memiliki karakteristik dalam pengembangan budaya. Salah satu produk budaya lain yaitu Mesjid Jamik atau Mesjid Agung Sumenep, Mesjid ini berada di jantung kota Sumenep, termasuk salah satu mesjid tertua yang ada di Indonesia, mesjid ini dibangun tahun 1779  oleh Panembahan Somala. Selain mesjid jamik, juga memiliki kraton, alun-alun serta kereta kencana. Tidak berbeda dengan mesjid agung, kraton Sumenep yang juga didirikan oleh Panembahan Somala atau yang bergelar Tumenggung Arya Nata Kusuma, dan keraton Sumenep ini menjadi salah satu peninggalan sejarah di Jawa Timur yang selesai dibangun pada tahun 1780. Selain objek sejarah tadi, kabupaten Sumenep juga memiliki situs makam raja-raja Sumenep yang dikenal dengan situs Asta Tenggi, tidak berbeda dengan Jogyakarta yang memiliki komplek pemakaman Imogiri, Sumenep-pun memilikinya. Makam raja-raja beserta keluarga dan kerabatnya dimakamkan di situs pemakaman Asta Tenggi.
Secara historis kedatangan Islam di berbagai daerah di Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi politik, sosial dan budaya yang berbeda-beda (Uka Tjandrasasmita 1984:85). Salah satu peninggalan kebudayaan masa Islam yang bersifat sakral adalah makam.
Serangkaian batu nisan yang ditemukan di kuburan-kuburan di Jawa Timur, yaitu di Trowulan dan Tralaya, di dekat situs istana Majapahit yang bersifat Hindu-Budha. Bukti tersebut meunjukkan bahwa hampir dapat dipastikan bahwa makam-makam itu merupakan tempat penguburan orang-orang muslim Jawa. Batu-batu itu memuat tulisan dari Quran dan formula-formula tentang kesalehan. Bedasarkan rumitnya hiasan yang terdapat pada beberapa batu nisan itu dan lokasinya yang dekat dengan situs ibu kota Majapahit, menurut Damais seorang pengamat, menarik kesimpulan bahwa batu-batu nisan itu mungkin untuk menandai kuburan-kuburan orang Jawa yang sangat terhormat, bahkan ada kemungkinan keluarga raja (Ricklefs dalam Zulkarnain 2003:65).
Rentetan perkembangan nilai Islam merupakan suatu dinamika yang saling bertautan di antara kondisi sosial dan kearifan para pemimpin-pemimpin Islam di dalam menjalankan kendali pemerintahan. Pola kepemimpinan dalam pemerintahan Islam merupakan pola hidup baru bagi masyarakat Sumenep dan membawa perkembangan Islam di daerah Sumenep. Mesjid sebagai pusat kebudayaan menjadi pelopor pendidikan keagamaan untuk membawa rakyat jelata meninggalkan kegelapan dan kebodohan. Menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat sumenep bahwasannya penyebar agama Islam adalah Syayid Ahmad Baidhawi atau yang dikenal dengan pangeran Katandur. Kuburannya berada di desa Bangkal sebelah timur kota Sumenep dan dikenal dengan Asta Sabu. Adipati Sumenep yang pertama kali masuk Islam ialah Panembahan Joharsari. Pada zaman itu Islam belum merata, karena tanah Jawa masih dikuasai oleh raja-raja beragama Hindu. Namun penyebaran Islam tetap berlangsung secara damai. Baru setelah zaman Walisanga tahap Islam dapat menyebar hampir ke seluruh pelosok. Islam telah masuk sangat awal ke berbagai bandar di Jawa, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya kuburan seorang muslimah bernama Fatima binti Maimun bin Al Qadir Billah, di Lereng, Gersik, yang bertahun 1102 masehi, atau sekitar 400 tahun sebelum Walisanga menyebarkan agama Islam (Zulkarnain 2003:66-68).
Awal perkembangan dakwah Islam di Nusantara abad XIII Islam lebih banyak menyentuh sisi instrinsik substansial dalam bentuk ajaran tasawuf. Implementasi agama lebih menekankan kepada nilai-nilai  rohani dari pada fisik. Nilai-nilai rohaniah itulah yang kemudian menjadi spirit dan memberikan pencerahan dalam kehidupan. Kebutuhan spiritual ini yang menyebabkan segala kelakuan manusia menjadi serba religi, sehingga menyebabkan sikap keramat, baik pada kelakuan manusia itu sendiri, maupun tempat dimana kelakuan itu dilakukan. Ada anggapan bahwa tempat keramat adalah tempat bersemayamnya arwah leluhur dan adanya kekuatan gaib yang ada pada benda tertentu yang kebetulan tersimpan di tempat keramat tersebut. Pengertian kekuatan ghaib ini adalah segala kekuatan yang tidak kelihatan seperti rahasia alam, kekuatan-kekuatan yang aneh-aneh, dan sebagainya (Poerwadarminta, 1976:288).
Secara garis besar kebutuhan hidup manusia dapat dibedakan antara kebutuhan jasmani (material) dan kebutuhan rohani (spiritual). Upaya manusia untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut dipengaruhi oleh keadaan alam sekitar. Salah satu faktor lain adalah persepsi masyarakat terhadap tempat yang dianggap keramat serta hubungan spiritual antara masyarakat dengan tempat keramat, tanah dan alam semesta. Di sini ,tatanan kosmos, keserasian hubungan-hubunga yang harmonis antara diri sendiri dan lingkungan secara vertikal dan horizontal, yaitu dengan Yang Maha Kuasa dan hubungan kemasyarakatan harus dijaga (Soedarsono dkk dalam soegianto, 2003:70)
Asta adalah tempat untuk pemakaman orang yang dianggap keramat, misalnya para pendiri kerajaan, kiai atau orang-orang besar yang dengan kharisma tinggi (Ensiklopedi Madura II 1990:25). Tempat pemakaman yang semacam ini biasanya banyak dikunjungi oleh orang dengan maksud untuk memperoleh berkah dari Yang Mahakuasa melalui kekeramatannya dan menimbulkan kekuatan ghaib. Sebagai contoh di salah satu tempat di madura makam yang dianggap keramat, membawa berkah dan selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah antara lain, di dareah Bangkalan terdapat kumpulan makam raja-raja Bangkalan yaitu Asta Air Mata. Sedangkan yang tersebar di Sumenep baik di daratan maupun di pulau-pulau kecil, di antaranya pulau Sapudi sebelah tenggara Madura, terdapat makam Adipoday dan Potre Koneng, Asta Joko Tole di kampong Sa’asa Lanjuk Manding  Sumenep, Asta Sayyid Yusuf, Asta Karang Sabu (makam Tumenggung Kanduruan, Pangeran Lor dan Pangeran Wetan), Asta Kiai Pekkek (paman Bendara Saud), Asta Pangera Onggosuto, Asta Kiai Abdullah (ayah Bendara Saud),  Asta Tenggi adalah kuburan para raja dan anak keturunan beserta kerabat-kerabatnya yang dibangun sekitar tahun 1750, yang terletak di atas bukit di Desa Kebunagung Kecamatan Kota Sumenep kabupaten Sumenep. Makam tersebut diangap sebagai makam keramat yang masih menyimpan banyak makna dan dipercaya sebagai sumber berkah yang menyimpan banyak karomah.
Tempat keramat yang didukung oleh keberadaan mitos yang kharismatis tersebut menjadi tempat ziarah bagi peziarah dengan tujuan dan maksud tertentu. Ziarah ini pada hakekatnya menyadarkan kondisi manusia sebagai pembersihan diri dan untuk memperoleh restu leluhur yang dianggap telah melewati ujian hidup. Berziarah ke makam para wali atau alim ulama, melalui do’a-do’a yang dipanjatkan juga mampu menetes jiwa seseorang yang sering gundah, gelisah, cemas akibat ditempa banyak persoalan hidup. Dengan banyak merenung, menyukuri nikmat dan kebesaran Tuhan, kita merasakan bahwa terlalu kecil di hadapannya, nanti kalau tiba waktunya kembali ke hadiratnya, tentu saja orang-orang besar yang telah meninggal menghadap sang pencipta pernah hidup dan jaya. Dengan sering datang ke kuburan para wali, boleh saja tidak sekedar memperoleh pahala dan berkah, jiwa menjadi tentram dan tenang, yang pada saatnya  nanti akan menemui Al-Khalik Sang Maha Pencipta. Ziarah mempunyai pengaruh terhadap rohani para peziarah. Dengan mengunjungi makam maka tercipta suasana batin yang selalu ingat akan hakikat kehidupan dunia yang sifatnya sementara. Di samping itu, berkunjung ke makam-makam terutama kepada para Nabi dan orang-orang suci yang semasa hidupnya membawa misi dalam keagamaan, menandaskan rasa terimakasih dan penghargaan terhadap perjuangan, sekaligus dapat mengingatkan kepada generasi yang ada, bahwasannya mereka yang menempuh jalan kebenaran dan keutamaan dan rela mengorbankan jiwanya demi mempertahankan keyakinan dan menyebarluaskan kebebasan. Sehingga dengan melakukan ziarah diharapkan dapat membangkitkan gairah keIslaman sebagai bekal ketika kita semua menyusul mereka semua ke alam baqa (Ruslan dan Arifin Suryo Nogroho, 2007:14 )
Asta Tenggi merupakan Asta termuda sekaligus terbesar dan termegah di Kabupaten Sumenep. Jumlah makam di Asta Tenggi ada ribuan yang semuanya adalah keluarga penguasa Sumenep beserta keturunannya. Jumlah ini bisa jadi akan semakin bertambah karena makam ini tidak hanya menjadi situs sejarah, namun juga difungsikan sebagai pemakaman keluarga. Dari ribuan makam itu, ada empat komplek utama yang ditandai dengan cungkup atau kubah yaitu komplek makam Pangeran Pulang Jiwo (adipati Sumenep 1672-1678), komplek makam Pangeran Ahmad atau T. Aryo Cokronegoro (adipati Sumenep 1737-1744), komplek makam Bendara Saud (adipati sumenep 1750-7162) beserta RA Tirtonegoro dan komplek makam Panembahan Somala (Sultan Sumenep 1762-1811), Sultan Abdurrahman (Sultan Sumenep 1811-1854). Bagi masyarakat, makam raja-raja Sumenep di Asta Tenggi menyimpan banyak makna. Tidak hanya dikarenakan memiliki kebesaran nama dan kekuasaan di masa lalu, akan tetapi sebagai tempat untuk bertawashul dan tabarruk.
Kewalian raja-raja Sumenep seakan menjadi sumber kekuatan tersendiri bagi para peziarah. Meski sudah tidak hidup di alam dunia, tokoh-tokoh yang di makamkan di situ  diyakini rohnya masih hidup dan masih menyimpan banyak karomah. Selalu ada saja peziarah yang datang ke Asta Tenggi setiap harinya dan tidak pernah sepi. Dalam setahun, bulan yang ramai pengunjung biasanya adalah bulan Muharram, Rajab, Ramadhan dan Syawal. Dalam sebulan yang paling ramai adalah di malam Jumat Manis (Jumat Legi). Adapun dalam seminggu hari yang paling ramai adalah hari Sabtu, Selasa dan Jumat. Sahlan, juru kunci menyatakan hari sabtu dan selasa umumnya yang datang adalah masyarakat pedesaan. Sementara yang datang hari jumat adalah para famili (keluarga bangsawan). Pilihan di hari jumat tidak bisa di lepaskan dari lalampanah (tradisi) orang-orang terdahulu. Masyarakat dan para keturunan yang hidup saat ini hanya mengikuti jejak tradisi para leluhur mereka.
Tradisi berziarah pada bulan Ramadhan ke makam leluhur ataupun keluarga yang telah meninggal menghadap sang pencipta juga dilakukan oleh masyarakat non muslim. Tradisi ziarah adalah tradisi yang dimiliki oleh agama Islam. Asta Tenggi yang menjadi cagar budaya penting bagi Dinas Pariwiata Sumenep ini benar-benar bisa dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pariwisata sebagai suatu industri merupakan bagian dari pembangunan yang secara finansial dapat meningkatkan pendapatan/devisa bagi Negara dan masyarakat. Perkembangan sektor pariwisata dapat menyerap lapangan kerja dan dapat menyerap tenaga kerja dan membuka lapangan usaha baru serta meningkatkan pendapatan bagi masyarakat setempat. Dengan dilaksanakannya otonomi daerah, maka pengembangan dan pembangunan objek wisata merupakan tugas pemerintah daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah lebih memiliki wewenang untuk mengembangkan pariwisata daerahnya berdasarkan UU No. 25 Tahun 2000 tentang program perencanaan nasional pariwisata (Soekadijo, 1997:26)
Sejalan dengan digalakkannya pembangunan, sektor pariwisata diharapkan mampu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, memberdayakan perekonomian masyarakat, meningkatkan pendapatan daerah serta penghasil devisa. Dengan demikian mampu memperluas lapangan kerja dengan meningkatkan produk-produk lokal, dalam bentuk souvenir dan makanan yang bercirikan khas Madura. Pembangunan kepariwisataan yang ditujukan untuk mengembangkan dan mendayagunakan berbagai potensi kepariwisataan nasional, memberikan nilai tambah ekonomi atas kepemilikan aset masyarakat setempat secara adil, memperkaya kebudayaan nasional, memupuk rasa cinta tanah air, mempererat persahabatan antar bangsa melalui  pembangunan prasarana dan sarana kepariwisataan, pengembangan objek dan daya tarik wisata, meningkatkan pemasaran dan promosi serta keterjangkaun ( BP7: 153-154).
Dalam era otonomi daerah sekarang, pemerintah bersama rakyat Kabupaten Sumenep terus meningkatkan pembangunan di segala bidang untuk mewujudkan kesejahteraan dengan dilandasi nilai-nilai agama dan kebudayaan  melalui peningkatan kemampuan aparatur dalam rangka mendukung terciptanya Kabupaten Sumenep  sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Jawa Timur. Sejalan dengan itu maka keberadaan Dinas Pariwisata menjadi sangat penting, karena sebelum tahun 1997 tugas-tugas kepariwisataan  masih ditangani oleh  bagian tertentu (BABPARDA di bawah bagian perekonomian). Tentu saja intensitas dan efektifitas pengelolaan kepariwisataan tidak dapat dilakukan secara maksimal. Berdasarkan peraturan Daerah Kabupaten Sumenep No.2 tahun 1995 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja Dinas Pariwisata  Kabupaten Sumenep, pada tanggal 6 September 1997, dibentuklah Dinas Pariwisata Kabupaten Sumenep. Pembentukan Dinas Pariwisata dimaksudkan untuk menggali dan mengembangkan potensi daerah agar dapat ditingkatkan sebagai salah satu objek kunjungan di Jawa Timur, dengan meningkatkan pelayanan kepada pelaku pariwisata, budaya dan masyarakat (Miskawi, 2007:4).
Masyarakat Sumenep merasa memiliki Asta Tenggi. Berbagai motif dan ritual dilakukan di sana. Namun kesemuanya tetap menjaga bahwa Asta Tenggi adalah tempat yang suci, tempat dimana beberapa leluhur masyarakat Sumenep yang memiliki kelebihan dan kedekatan dengan Yang Maha Kuasa beristirahat dengan tenang. Semua orang menjaga makna penghormatan kepada leluhur. Semuanya menjaga ungkapan yang harus dijaga, yaitu penghormatan Bhupa’, Bhabbu’, Guru, Ratoh. Sebuah norma yang harus terus di wariskan kepada anak cucu, yaitu penghormatan kepada orang tua, guru dan Raja. Asta Tenggi adalah salah satu tempat dimana berbagai lapisan masyarakat untuk bersama-sama menjaga nilai itu.
Asta Tenggi merupakan makam yang dianggap keramat setiap harinya tidak peranah sepi selalu ramai di kunjungi peziarah baik sekitar kecamatan Kebunagung sendiri hingga keluar kota Sumenep. Peziarah yang datang mengunjungi dengan berbagai motivasi sesuai tujuannya. Para peziarah yang datang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat seperti dari kalagan santri, pejabat, pedagang, petani, nelayan, seniman (sinden, kelompok musik tradisional saronen), wirausahawan, bahkan dari kalangan orang yang hobi kerapan sapi. Ada juga fenomena yang cukup menarik yaitu tentang nadzar yaitu sebuah janji bahwa ketika hajadnya tercapai mereka akan kembali untuk berziarah lagi, apakah itu terkait dengan masalah yang belum selesai ataupun cita-cita yang belum tercapai. Sebagian para jamaah haji yang mau berangkat  juga datang ke Asta Tenggi. Mereka bernadzar jika bisa pulang dengan selamat dan menjadi haji mabrur, mereka akan berziarah lagi. Para orang tua yang belum menikahkan anaknya juga bernadzar ketika anaknya menemukan jodoh  maka akan kembali lagi untuk berziarah, membersihkan makam atau mewakafkan sesuatu. Berbagai hiasan atau kain hijau penutup nisan makam banyak yang berasal  dari peziarah yang punya nadzar.
Tradisi nadzar juga dilakukan oleh beberapa pesinden dan bahkan para kalangan orang yang hobi kerapan sapi juga menyampaikan keinginannya dan melakukan nadzar. Apabila harapannya terkabul, mereka kembali berziarah ke Asta Tenggi dengan membawa sapi kerapannya yang menang lengkap dengan  rombongan pemusik saronen dan klenengan.
Keunikan yang terdapat dalam Asta Tenggi ini Asta Tenggi terletak di bukit. Keberadaan Asta Tenggi  terdiri dari 4 (empat) cungkup yang terdiri dari 2 (dua) bagian, dimana dari 4 (empat) cungkup tersebut mempunyai berkah dan karomah yang berbeda-beda. Dalam mengungkapkan rasa syukur para peziarah mengadakan selamatan dan uapacara matoron ka tana di Asta Tenggi. Pelaksanaan selamatan dan upacara matoron ka tana di Asta Tenggi memiliki makna simbolik, masing-masing pada setiap perlengkapan dan peralatan yang digunakan untuk selamatan dan upacara matoron ka tana. Bentuk ornamen bangunan dan makam Asta Tenggi menggambarkan simbol-simbol kebudayaan Jawa dan Cina. Pada akhir tahun 1980-an Asta Tenggi ramai dikunjungi orang karena tersiarnya kabar bahwa makam Pangeran Dipenogoro yang asli ternyata ada di Asta Tenggi. Menurut kepercayaan masyarakat Sumenep bahwa makam Pangeran Dipenogoro yang ada di Makasar adalah Turkiyo Dikometuri.
Berdasarkan uraian di atas maka Asta Tenggi menarik untuk diteliti karena jumlah peziarah ke Asta Tenggi selalu membludak pada waktu tertentu. Sebenarnya apa yang melatar belakangi masyarakat bersikap demikian dan mengapa Asta Tenggi  termasuk dalam objek wisata spiritual ini selalu ramai dikunjungi orang. Berdasarkan latar belakang  tersebut  penulis tertarik  untuk mengkaji dan meneliti sebagai bahan penulisan skripsi, yang dirumuskan dengan kalimat judul “Asta Tenggi Sebagai Objek Wisata Religi Di Kabupaten Sumenep”. 

1.2    Penegasan Pengertian Judul
Sebelum membahas lebih lanjut permasalahan dalam penelitian ini, perlu lebih dahulu diuraikan pengertian judul skripsi Asta Tenggi Sebagai Objek Wista Religi di Kabupaten Sumenep untuk menghindari persepsi yang berbeda.
Asta adalah tempat untuk pemakaman orang-orang yang dianggap keramat, misalnya para pendiri kerajaan, kiai, atau orang-orang besar dengan kharisma tinggi. Asta Tenggi disebut juga Asta Rajeh yang bermakna asta/makam para pangradjeh (pembesar kerajaan) yang merupakan asta/makam para raja dan keturunan beserta kerabat-kerabatnya (Ensiklopedi Madura II, 1990:25)
Menurut Yoeti (1996:112) Wisata adalah kegiatan perjalanan atau bepergian untuk menikmati objek wisata. Religi adalah kercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia, kepercayaan (animisme, dinamisme dan sebagainya) agama.(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1976:155)
Kabupaten Sumenep adalah sebuah Kabupaten yang berada  di daerah induk pulau Madura bagian Timur, yang memiliki potensi wisata budaya yang sangat besar. Kabupaten ini terdiri  dari 331 Desa,  22 Kecamatan  dan 8 perwakilan Kecamatan
Berdasarkan urain-urain di atas, maka yang dimaksudkan Asta Tenggi Sebagai Objek Wisata Ziarah Di Kabupaten Sumenep adalah daya tarik yang ada dalam Asta Tenggi sebagai potensi wisata religi yang dapat dikembangkan sebagai tujuan wisata di Kabupaten Sumenep dan juga sebagai suatu bentuk penghormatan kepada leluhur yang harus dijaga, yaitu penghormatan Bhupa’, Bhabbu’, Guru, Ratoh. Sebuah norma yang harus terus diwariskan kepada anak cucu, yaitu penghormatan kepada orang tua, guru dan Raja.

1.3    Ruang Lingkup dan Rumusan Permasalahan
1.3.1  Ruang Lingkup
Langkah yang sangat penting bagi seorang peneliti adalah  perlu membatasi ruang lingkup penelitian. Penentuan ruang lingkup dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk menghindari  penyimpangan uraian dari fokus permasalahan, sehingga peneliti tidak terjerumus  dalam sekian banyak data  yang tidak berguna bagi peneliti. Dalam penelitian  ini penulis memberikan batasan spasial, materi dan temporal.
Lingkup spasial atau tempat yang diambil dalam penelitian  ini adalah Asta Tenggi yang terletak Desa Bana Soka Kecamatan Kebunagung Kabupaten Sumenep. Lingkup materi dalam penelitian  ini yaitu tentang potensi Asta Tenggi sebagai objek wisata ziarah dan usaha masyarakat dalam melestarikan Asta Tenggi  sebagai objek wisata ziarah di Kabupaten Sumenep.
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas maka dalam penelitian ini, ruang lingkup temporal atau waktu yang diambil dalam  dibatasi dan hanya difokuskan pada tahun 1997-2007. Tahun 1997 dijadikan batas awal penelitian, karena pada tanggal 6 September 1997 dibentuk Dinas Pariwisata Kabupaten Daerah Tingkat II Sumenep. Pembentukan Dinas Pariwisata dimaksudkan untuk menggali dan menegembangkan potensi daerah agar dapat ditingkatkan sebagai salah satu objek kunjungan di Jawa Timur, dengan meningkatkan pelayanan kepada pelaku pariwisata, budaya dan masyarakat, sehingga kunjungan wisata dapat dicapai dengan baik. Sedangkan tahun 2007 dijadikan batas akhir penelitian ini dilaksanakan.

1.3.2        Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang dan ruang lingkup penelitian yang diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)      Apa keunikan Asta Tenggi?
2)      Apa tujuan masyarakat berziarah ke Asta Tenggi?
3)      Bagaimana asal mula berdirinya berdirinya Asta Tenggi?
4)      Bagaimanakah pandangan  masyarakat terhadap Asta Tenggi?
5)      Bagaimanakah usaha masyarakat dan pemerintah dalam melestarikan Asta Tenggi sebagai objek wisata religi di Kabupaten Sumenep?

1.4    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin penulis capai dalam penelitian  ini adalah:
1.      Untuk mengkaji secara mendalam Keunikan yang terdapat di dalam Asta Tenggi di Desa  Kebunagung sehingga menarik wisatawan;
2.       Untuk mengkaji secara mendalam tujuan masyarakat ke Asta Tenggi;
3.       Untuk mengkaji secara mendalam asal mula berdirinya Asta Tenggi;
4.       Untuk mengkaji secara mendalam pandangan masyarakat terhadap Asta Tenggi;
5.       Untuk mengkaji secara mendalam usaha  masyarakat dan pemerintah dalam melestarikan Asta Tenggi sebagai objek wisata religi di Kabupaten Sumenep.

1.5    Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalah di atas, maka penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat, di antaranya:
1.      Bagi penulis dapat memberikan informasi dan memperdalam wawasan tentang Asta Tinggi terutama mengenai keunikan dan persepsi masyarakat terhadap Asta Tenggi yang terdapat di Desa Kebunagung Kecamatan Kota Sumenep Kabupaten Sumenep;
2.       Bagi pembaca, dapat memberikan gambaran dan wawasan tentang Asta Tenggi sebagai obejek wisata religi yang ada di Jawa Timur, khususnya di Kabupaten Sumenep;
3.      Bagi pemerintah, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berhubungan dengan masalah pengembangan pariwisata khususnya Asta Tenggi;
4.      Bagi Asta Tenggi, dapat memberikan arti dan kesan kepada masyarakat luas tentang nilai-nilai sejarah, budaya dan adat-istiadat masyarakat Sumenep agar dikenang dan dilestarikan secara bersama-sama, serta mampu mengimplementasikan dalam kegiatan pembangunan daerah dan mampu menarik wisatwan asing maupun lokal untuk mewujudkan masyarakat sejahtera lahir dan batin.
5.      Bagi masyarakat sekitar, dapat menambah penghasilan seirirng terbukanya lapangan kerja baru yang diakibatkan oleh perkembangan  dan pelestaraian Asta Tenggi sebagai objek wisata religi di Kabupaten Sumenep.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka ini mengemukakan kajian teori dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Kajian teori dilakukan dengan mengumpulkan pendapat atau teori-teori yang dikemukakan oleh para peneliti sebelumnya.
Bagi masyarakat Jawa tradisi ziarah kubur sudah dikenal dan berkembang sejak zaman Animisme dan Dinamisme. Mereka percaya kepada roh nenek moyang yang dipercayai dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan dan tidak dapat dilihat panca indera manusia, sehingga untuk berhubungan dengan roh tersebut harus mengadakan permohonan. Dalam melaksanakan permohonan terhadap roh nenek moyang dilakukan dengan upacara ziarah menggunakan sesaji dan mengucapkan mantra atau doa agar dapat berkomunikasi dengan roh nenek moyang untuk dapat lebih konsentrasi upacara itu biasanya dilakukan bersamaan dengan ziarah.
Pada saat kedatangan agama Hindu dan Budha, tradisi ziarah kubur dapat berkenbang dengan pesat karena terjadi akulturasi dengan tradisi ziarah pada zaman kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Setelah terjadi akulturasi antara Hindu-Budha dan Animisme-Dinamisme maka tradisi ziarah menjadi kesatuan yang utuh antara aturan pelaksana Animisme-Dinamisme dan Hindu-Budha. Bentuk akulturasi dalam pelaksanaan ziarah kubur yaitu mengadakan upacara ziarah yang menggunakan sesaji, membakar dupa, membaca mantera dan menaburkan bunga di atas kubur. Dalam mengucapkan mantera-mantera para peziarah umumnya meminta tambahan rejeki, keselamatan dan mendoakan roh nenek moyang agar diampuni sang dewa (koentjaraningrat, 1998:108).
Ruslan dan Arifin Suryo Nugroho (2007:7-8) dalam bukunya yang berjudul Ziarah Wali : Wisata Spiritual Sepanjang Masa,  mejelaskan bahwa ziarah kubur merupakan suatu panggilan untuk mengingatkan pada beberapa hal yaitu: kehidupan orang yang sudah diziarahi dan akibat perbuatan yang dilakukan dikemudian hari. Dengan bercermin dari kehidupan orang yang diziarahi, akan didapatkan nilai yang menjadi motivasi dalam menjalani kahidupan sekaligus sebagai landasan untuk meneropong kehidupan berikutnya. Masyarakat saat ini, kegiatan ziarah adalah diutamakan pada tokoh agama, raja beserta keluarganya yang mempunyai peranan penting atau jasa besar terutama ke makam para wali dan penyebar agama Islam sebagai wujud kecintaan. Kegiatan ini selain untuk mengenang perjuangan juga mencari berkah Allah SWT melalui doa.
Setelah Agama Islam masuk ke Jawa maka tradisi ziarah juga berakulturasi dengan ajaran Agama Isalam. Dalam ajaran Islam, trdisi ziarah kubur merupakan suatu tindakan yang disunahkan oleh Nabi Muhammad, hal ini ditegaskan dalam hadist:
“Rasulullah SAW telah bersabda sesungguhnya dahulu aku sudah melarang kalian berziarh kubur, maka kini ziarahilah kuburan (karena yang demikian dapat mengingatkan kalian akan akhirat) dan dengan menziarahi kubur adalah menambah kebaikan. Barang siapa yang berkehendak menziarahinya, maka ziarahilah dan jangan kalian mengucapkan kata-kata yang batil (memohon sesuatu kepada yang mati atau menganggap mereka suci)” (HR Muslim dalam Al-Albani, 1999:172).

Menziarahi kubur pada awalnya dilarang karena masih kentalnya perilaku jahil dan batil, maka dikhawatirkan jika mereka berziarah kubur akan mengucapkan kata-kata batil. Akan tetapi ketika kaidah-kaidah syariat telah mantap dan hukum-hukumnya telah kokoh serta ajarannya telah popular di kalangan masyarakat maka Rasulullah SAW membolehkan umatnya melakukan ziarah kubur, sambil mengingatkan mereka untuk tidak mengucapkan kata-kata batil. Hal ini mengingatkan kebiasaan yang dilaksanakan kebanyakan orang awam saat melakukan ziarah kubur, seperti meminta sesuatu kepada penghuni kubur atau meminta pertolongan kepada mereka serta memohon kemuliaan Allah melalui penghuni kubur adalah termasuk dari ucapan dan amaliah batil yang paling besar.
Adapun tujuan ziarah kubur adalah sebagai berikut: 1) peziarah dapat mengambil iktibar (pelajaran) berupa mengingat kematian dari orang mati, serta meyakini bahwa tempat kembalinya hanyalah surga atau neraka, 2) mendatangkan manfaat kepada penghuni kubur berupa kebaikan memberikan doa kesejahteraan baginya dan permohonan ampun untuk penghuni kubur khusus bagi muslim (Al-albani, 1999:180-181).
Dalam kehidupan, manusia sering merasa cemas bahkan takut ketika menghadapi kematian. Menurut Guillot dan chambert-Loir dalam Ruslan dan Arifin Surya Nugroho (2007:12) dalam bukunya yang bejudul Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa, mengungkapkan bahwa manusia sesungguhnya paling takut mati menghadapi dalam kesendirian ujian maut yang menandai ajalnya. Untuk membantu melangkahi batas yang penuh bahaya antara hidup dan mati itu, dia mengandalkan orang yang telah mendahuluinya yang menganggap memegang kunci rahasia agung.
Dalam kehidupan yang penuh dengan ketidak tentuan ini manusia cenderung mencari ketenangan dan kepastian untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Salah satu sumber ketenangan itu yang diperkirakan menguasai dan mengatur atau paling tidak dapat mempengaruhi kehidupan manusia tentag hal gaib, baik Tuhan dalam agama masing-masing maupun kekuatan lain seperti roh nenek moyang atau kekuatan alam dan bangsa halus lainnya (Rato, 2003:138).
Manusia memecahkan masalah-masalah hidup mereka melalui akal dan pengetahuan manusia ada batasnya. Makin berkembang kebudayaan manusia maka makin luas masalah-masalah yang dihadapi dan batas akal manusia itu semakin menyempit. Masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan akalnya maka dipecahkan melalui bentuk-bentuk lain seperti percaya terhadap hal-hal yang bersifat magis (Adminardja, 1976:90).
Magis adalah suatu penguasaan dan pengawasan manusia terhadap alam semesta dengan mengandalkan daya mantera-mantera. Magis dapat dikatakan sebagai suatu ritual dalam bentuk doa dan matera yang diucapka manusia untuk menegaskan hasrat seseorang terhadap alam dan kekuatan gaib atas dasar kepercayaan penguasaan terhadap manusia untuk maksud-maksud tertentu (Fith dalam Adiminardja, 1976:87).
Pada mulanya perbuatan magis tersebut hanya digunakan untuk memecahkan masalah-masalah di luar batas kemampuan manusia. Akan tetapi kemudian terbukti bahwa masalah ghaib dapat memenuhi tantangan hidup manusia dan kebutuhan manusia, maka lambat laun mulailah mausia percaya kepada alam ghaib yang dikuasai makhluk halus yang dirajakan lebih berkuasa dari pada manusia. Dari perkembangan demikian timbullah religi yang merupakan sistem tingkah laku manusia dan suatu harapan dengan cara menyadarkan diri terhadap kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus, seperti dewa-dewa, roh nenek moyang yang menempati seluruh jagad raya (koentjaraningrat, 1975:211).
Manusia merupakan peralihan dari alam arwah ke alam rahim (ibu). Setelah itu ia pindah ke alam kubur. Dari sana ia pindah ke alam baqa dimana ia menjadi sempurna. Orang yang sempurna di alam baqa dapat menjadi perantara manusia dengan Tuhan dan kuburan adalah tempat komunikasi, tempat perantara itu bersemayam. Orang sempurna (suci) dapat menjadi perantara selama Tuhan mengijinkan (Rato, 2003:133).
Jadi magis religius adalah kegiatan-kegiatan upacara yang ditujukan kepada suatu kekuatan yang dianggap lebih tinggi dari manusia. Dalam upacara tersebut juga mengucapkan mantera-mantera yang bertujuan berhubugan dengan alam gaib untuk meminta keselamatan dan tambahan rejeki. Upacara dilaksanakan agar roh nenek moyang tidak melakukan tindakan yang merugikan manusia seperti gempa bumi, gunung meletus, angin topan, banjir dan lain-lain. Tempat pelaksanaan upacara tersebut biasanya diadakan di tempa keramat, kuburan orang yang semasa hidupnya mempunyai pengaruh yang kuat dan tempat-tempat yang dianggap suci.
Dengan demikian roh leluhur menjadi jalur komunikasi dan interaksi antara masyarakat dengan kekuatan bumi. Penghormatan kepada kuburan, baik kuburan biasa maupun kuburan keramat adalah salah satu ciri masyarakat Madura secara umum dan di Sumenep khususnya.
Di Jawa, makam raja Sultan Yogyakarta dan Sultan Solo di Tegalrejo terletak di atas sebuah bukit. Begitu juga makam Mbah Meru di Bromo, Syeh Maulana Maghribi di Gunung Slamet (Baturraden), makam sunan Muria di gunung Muria, dan sebagainya. Di Madura, makam raja-raja Sumenep berada di bukit Asta Tinggi. Makam-makam ini selalu didatangi oleh orang yang meminta berkah, keselamatan dan ketentraman.
Seorang yang membuka tanah pertanian baru atau ingin mendirikan rumah baru, mendatangi makam pembabat hutan di tempat wilayah yang akan ditempati. Makam yang dianggap keramat itu diberi sesajen dengan tujuan meminta berkah, restu dan perlindungan. Di Bondowoso pejabat yang menduduki posisi penting harus mendatangi makam Ki Ronggo, pembabat daerah itu, sebelum menjalankan tugas (Rato, 2003:97).
Dalam Info Sumenep dinamika komunikasi dan informasi Edisi:1 Tebitan 01-07 Nopember 2007, di Kabupaten Sumenep, setiap menyongsong puncak hari jadi biasanya sering ditandai kegiatan hiburan seni badaya trdisioal, selamatan atau sykuran. Bupati Sumenep yang kebetulan saat ini kyai dari podok pesantren, KH. Moh.Ramdlan Siraj, senantiasa mengajak para pejabat terasnya dan sejumlah tokoh alim ulama, untuk berziarah ke makam Asta Tenggi tempat para penguasa Sultan Kraton Sumenep beristirahat abadi. Ziarah ini sebagai bukti pernyataan diri bahwa sebagai pelanjut kekuasaan Keraton Sumenep harus banyak bersyukur dan takarrub.
Seiring  dengan kebutuhan  spiritualisme, di tengah peliknya masalah yang di hadapi manusia kadangkala menjadikan rasionalitas  mereka tidak berdaya, sehingga timbul kecemasan, ketakutan dan ketidak tentraman. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan ziarah, wisata spiritual ini diyakini dapat menerangkan jiwa, karena di dalamnya terdapat lantunan-lantunan yang mendatangkan ketenangan, seperti yang tecantum dalam bacaan tahlil, tahmid dan tasbih serta didukung oleh suasana hening di lingkungan sekitarnya, menjadikan makam para wali ini menjadi kawasan damai di tengan keributan dunia (Ruslan dan Arifin Surya Nugroho, 2007:116)
Kewalian raja-raja Sumenep seakan menjadi sumber kekuatan tersendiri bagi para peziarah meski sudah tidak hidup di alam dunia, tokoh-tokoh yang dimakamkan di situ diyakini hidup dan masih menyimpan karomah, misalnya Pangeran Panji, bagi masyarakat dia adalah wali yang dikasihi Allah. Alkisah ketika Pangeran Panji wafat di medan perang tiba-tiba muncul ke keraton dengan keadaan sehat walafiat. Sejak saat itu Pangeran Panji disebut Pangerann Pulang Jiwo. Pangeran Ahmat, cucu Pangeran Pulang Jiwo yang sering disebut Pangeran Jimat, juga dikenal sebagai seorang ulama’ memiliki banyak karomah. Demikian pula dengan Bendara Saud dan Sultan Abdurrahman. Menurut Abdul Mukarrom, salah satu tokoh bangsawan Sumenep mengatakan bangga, “Raja-raja Sumenep itu semuanya ulama. Demikian juga menurut KH Tsabit Zaini juga membenarkan hubungan harmonis antara ulama dan raja Sumenep di masa lalu. Agama Islam bisa masuk sampai ke ulu hati masyarakat Sumenep karena memang dakwah dilakukan dengan dua arah, melalui arus bawah dan arus atas.
Pada akhir tahun 80-an Asta Tenggi sempat padat dan ramai dikunjungi orang karena tersiarnya kabar bahwa makam Pangeran Diponogoro yang asli ternyata di Asta Tenggi. Sultan Abdurrahman yang masih terhitung besan dengan Pangeran Diponogoro melakukan sebuah siasat. Diponogoro hidup di Sumenep di bawah perlindungan keraton. Adapun makam di Makasar adalah Turkiyo Dikometuri, panglima perang yang menggantikan posisi Diponogoro. Indikasi ini di perkuat dengan pesan dari Sultan Abdurrahman dalam prasasti di Asta Tenggi yang memberikan wasiat agar menziarahi makam yang berada di belakang tembok Asta Tenggi, tepatnya di bawah pohon nengger. Orang yang dimakamkan tersebut dinyatakan telah berjasa besar bagi pejuangan bangsa dan agama. Di sekitar makam Asta Tenggi memang terdapat banyak makam yang merupakan makam para prajurit dan abdi keraton Sumenep.
Tradisi berziarah ke makam leluhur ataupun keluarga yang telah mendahului menghadap sang Pencipta adalah tradisi yang dimiliki oleh agama Islam. Dalam konteks ini sangat menarik melihat bagaimana posisi Asta Tenggi. Asta yang menjadi cagar budaya penting bagi dinas pariwisata Sumenep ini benar-benar bisa dimiliki oleh masyarakat Sumenep.
Pariwisata mempunyai peranan yang penting bagi masyarakat, yaitu terbentuknya wawasan masyarakat  dengan adanya interaksi antara penduduk dengan wisatawan. Di samping itu pariwisata dapat menciptakan lapangan kerja di dalam kawasan wisata dan memperkenalkan budaya masyarakat serta keindahan alam Indonesia yang dapat memupuk rasa cinta tanah air dan kesatuan bagi generasi muda .Perhatian pemerintah daerah dalam pengembangan pariwisata Sumenep dilakukan melalui kerjasama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Sumenep. Bentuk kegiatannya  adalah perlindungan, pengamanan dan pelestarian objek wisata. Pemerintah daerah mendorong masyarakat agar berpartisipasi melalui pencananagan program “sapta pesona” (aman, tertib, bersih, nyaman, sejuk, indah dan ramah). Dengan program sapta pesona tersebut diharapkan masyarakat tidak mengganggu wisatawan, tidak merusak lingkungan dan merusak objek wisata, sehingga memberikan pelayanan yang baik kepada wisatawan (Susilowati. 2005:14)
Faktor yang perlu mendapatkan perhatian pula dalam hubungan antara kebudayaan dan pariwisata ialah nilai-nilai dan pemeliharaan kekayaan kebudayaan. Dalam hal ini dimaksudkan dengan benda-benda yang merupakan monumen sejarah dan warisan masa lampau yang berupa nilai-nilai sosial, ekonomi maupun peradaban bangsa (Yuyun. 2000: 12).
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, penulis ingin mengkaji secara mendalam tentang Asta Tenggi dengan memfokuskan pada pandangan  atau persepsi masyarakat terhadap Asta Tenggi, keunikan dan serta usaha pemerintah dan masyarakat menjadikan Asta Tenggi sebagai objek wisata ziarah di Sumenep.

BAB 3. METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu cara atau teknik yang dilakukan dalam proses penelitian (Mardalis, 1999:24). Sjamsuddin (1996:61) mengemukakan metode penelitian sebagai suatu prosedur atau cara melakukan penelitian secara sistematis. Metode penelitian diklasifikasikan menjadi lima macam yaitu (1) metode sejarah, (2) metode deskriptif, (3) metode eksperimen, (4) metode grounded research dan (5) metode penelitian tindakan (Nazir, 1988:54).
Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian, maka penelitian ini termasuk dalam penelitian sejarah atau historis yang memperhatikan perkembangan. Keberadaan Asta Tenggi mulai awal berdirinya samapai sekarang mengalami perkembangan. Perkembangannya yaitu cungkup yang pertama dibangun yaitu cungkup Pangeran Panji Pulang Jiwo yang sampai sekarang terdapat 4 (empat) cungkup yaitu cungkup Pangeran Jimat, cungkup Bendara Saud, cungkup Panembahan Somala. Melaksanakan suatu penelitian, seorang peneliti harusnya dapat menggunakan metode yang sesuai dengan obyek yang akan diteliti. Sebelum peneliti memaparkan metode penelitian yang akan digunakan, maka akan diuraikan terlebih dahulu pengertian dari metode penelitian. Oleh karena itu metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah dengan pendekatan antropologi yang menggunakan teori fungsional dan simbolisme. Teori fungsional memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang berada dalam keseimbangan, yang memolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manisa itu sendiri. Teori fungsional menumbuhkan perhatian kita pada sumbangan fungsional agama. Agama dengan kedekatannya pada sesuatau yang berda diluar jangkauan dan keyakinan bahwa manusia berkepentingan pada sesuatau di luar jangkauan itu telah memberikan suatu pandangan realitas supra-empiris menyeluruh yang lebih luas. Aspek penting agama menawarkan ritus riturgi, yang memungkinkan manusia memsuki hubungan dengan tuhan, dewa-dewa, atau kekuatan suci lainnya, dan memungkikan mereka bertindak memeberikan tanggapan  dan merasakan keterlibatannya dalam hubungan-hubungan tersebut (Tomas F. O’Dea 1994:11-12). Asta Tenggi yang berada di Desa Kebunagung merupakan makam para raja-raja Sumenep. Asta adalah tempat pemakaman orang-orang yang dianggap keramat. Asta Tenggi adalah tempat yang suci, tempat dimana leluhur masyarakat Sumenep yang memiliki kedekatan dengan Yang Maha Kuasa beristirahat dengan tenang.
 Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Karena penuh dengan simbol, dapat dikatakan bahwa manusia penuh diwarnai dengan simbolisme, yaitu paham yang mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri atas simbol-simbol. Simbolisme sangat menonjol peranannya dalam religi. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan pengertian dan pemakaian suatu simbol baik dalam religi maupun tradisi pada beberapa kelompok masyarakat dan suku. Seperti yang dilakukan oleh peziarah yang datang ke Asta Tenggi setelah hajatnya terkabulkan mereka mengadakan selamatan dan upacara matoron ka tana, yang didalamnya terdapat berbagai sesaji seperti nasi tupeng, pambakaran kemenyan, sesaji bunga. Menurut Notosusanto (1971:10) penelitian  sejarah merupakan sekumpulan prinsip dan aturan sistematis yang dimaksud untuk memberi  bantuan secara efektif dalam usaha pengumpulan  bahan bagi penulisan sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikannya suatu sintesis hasil-hasilnya menjadi suatu cerita.
Sedangkan Notosusanto (1971:17) mengungkapkan bahwa metode sejarah adalah sebagai prosedur sejarawan untuk menuliskan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut.
Adapun langkah-langkah metode penelitian sejarah menurut Nugroho Notosusanto meliputi: 1) Heuristik, 2) Kritik, 3) Interpretasi, 4) Historiografi.

Heuristik
Heuristik adalah proses mencari untuk menemukan sumber-sumber untuk bahan penulisan sejarah. Sumber sejarah berdasarkan bentuknya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (1) sumber benda, (2) sumber tertulis, (3) sumber lisan (Notosusanto, 1971:17-18).
Kegiatan penelitian untuk menemukan sumber bahan penulisan sejarah , yaitu: (1) sumber benda yang berupa Asta Tenggi, (2) sumber tertulis dalam penelitian ini berupa sumber yang berupa tulisan yang diperoleh dari berbagai sumber, bisa dari buku, laporan penelitian, surat kabar, majalah maupun jurnal yang berkaitan dengan masalah yang dikaji, dan (3) sumber lisan dapat diperoleh melalui wawancara dengan beberapa informan yang mempunyai kaitan dengan topik yang dibicarakan.
Penggalian data lapangan yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan metode observasi, metode wawancara dan metode Dokumenter. Observasi menurut (Kartodirdjo dalam Koentjaraningrat, 1997:63). Observasi langsung adalah pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala subyektif yang diteliti, sedangkan observasi tidak langsung adalah pengamatan-pengamatan terhadap gejala subyek yang diteliti dengan perantara alat bantu. Peneliti mengadakan observasi langsung ke tempat pemakaman Asta Tenggi di Desa Bana Soka. Observasi tidak langsung  peneliti lakukan di Perpustakaan  Daerah Sumenep, Perpustakaan Universitas Wiraraja Sumenep, dan Perpustakaan  Pusat Universitas Jember. Selain melakukan observasi dalam penggalian di lapangan, peneliti juga melakukan wawancara. Menurut Cambell dan Khan (dalam Chaedwic dkk, 1991:121), wawancara adalah percakapan dua orang yang dimulai dengan tujuan khusus memperoleh keterangan yang sesuai dengan penelitian yang dipusatkan oleh isi yang dititik beratkan pada tujuan deskripsi, prediksi dan penjelasan sistematis mengenai penelitian ini. Pengumpulan data di lapangan, peneliti menggunakan metode wawancara mendalam yang sifatnya terbuka. Pelaksanaan wawancara tidak hanya sekali atau dua kali, melainkan berulang-ulang dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti. Peneliti dalam melakukan wawancara menggunakan alat bantu yaitu pedoman wawancara yang nantinya berfungsi untuk mengarahkan agar materi wawancara tidak keluar dari data yang digali oleh peneliti. Pelaksanaan wawancara dilakukan dengan, tokoh masyarakat, kiyai, peziarah wisatawan nusantara, pedagang, petani, Juru Kunci Asta tenggi dan Pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumenep. Selanjutnya peneliti juga menggunakan metode dokumenter yang diperoleh melalui sumber pustaka antara lain; Arsip-arsip, artikel jurnal, dan data pendukung yang diperoleh dari instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pariwisata dan Budaya, Kantor Kecamatan Kebunagung dan Kantor Desa Bana Soka.

Kritik
Langkah kedua dalam penelitian sejarah adalah kritik. Kritik merupakan kegiatan menyelidiki keaslian jejak-jejak sejarah baik mengenai bentuk maupun keasliannya. Kritik adalah menyeleksi atau menilai sumber data sejarah menjadi fakta sejarah. Lebih lanjut Notosusanto (1971: 17-18) menjelaskan bahwa mengkritik sumber berarti menetapkan otentitas dari sumber yang diuji untuk menghasilkan fakta sejarah. Fakta adalah suatu unsur yang dijabarkan secara langsung oleh dokumen sejarah dan dianggap kredibel melalui pengujian yang seksama dengan ketentuan metode sejarah (Gottschalk, 1985:96).
Kritik sumber meliputi kritik ekstern dan kritik intern yang diperoleh baik lisan maupun tulisan. Penerapan kritik ekstern atau kritik dari luar penelitian ini melalui kegiatan memilih keaslian suatu sumber untuk menentukan bahwa sumber tersebut merupakan sumber yang benar-benar dibutuhkan. Penerapan kritik ekstern adalah meneliti apakah dokumen itu autentik, yaitu kenyataan identitasnya. Jadi, bukan tiruan, turunan, palsu, yang kesemuanya dilakukan dengan meneliti sumber yang akan dipakai, jenis tulisan, gaya bahasa dan lain sebagainya. Setiap dokumen sejumlah data tentang apa, siapa, kapan, dimana dan sebagainya. Peneliti perlu menyeleksi mana yang relevan dengan pokok penelitiannya, kemudian menyediakan lewat pengelohan sebagai fakta-fakta (Kartodirdjo, 1992:16). Selanjutnya kritik intern atau kritik dari dalam yaitu untuk menganalisis isi (substansi) sumber data yang sudah dikritik eksternalnya, nantinya diperoleh data yang valid berupa fakta sejarah, penerapan kritik intern yang diperoleh dari sumber lisan dalam penelitian ini adalah kegiatan penelitian untuk menemukan kebenaran dan keabsahan data yang ada dalam sumber yang diperoleh pada waktu wawancara. Wawancara  dilaksanakan kepada toko masyarakat, petugas atau juru kunci Asta Tenggi, masyarakat Sumenep dan Dinas Pariwisata dan Budaya, peziarah, wisatawan nusantara, padagang dan sebagainya.
Peneliti dalam hal ini menilai atau menyeleksi sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh sebagai usaha mendapatkan sumber yang benar dalam arti benar-benar asli serta benar-benar mengandung informasi yang relevan dan kronologis dengan cerita sejarah yang akan ditulis. Setelah dilakukan kritik sumber untuk menganalisis data, dan menemukan fakta-fakta baru, penulis segera melakukan interpretasi atau penafsiran dan pemahaman tentang aspek yang akan dibahas.

Interpertasi
   Langkah selanjutnya dalam penelitian sejarah adalah interpretasi. Menurut Notosusanto (1971:17), interpretasi adalah proses penafsiran fakta-fakta sejarah dari hasil pengolahan data tersebut bukan kisah sejarah tetapi bagian sebuah kisah sejarah. Dari berbagai fakta harus dirangkai dan dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis dan logis. Widya (1988:23), mengemukakan bahwa fakta sejarah yang telah diwujudkan itu perlu dihubung-hubungkan dan dikait-kaitkan satu sama lain sedemikian rupa  sehingga antara fakta yang satu dengan yang lain kelihatan suatu merangkaian  yang masuk akal, dalam arti menunjukkan kesesuaian satu sama lain.
Dalam penerapannya peneliti  merangkai fakta sejarah antara satu dengan yang lainnya dan disusun secara kronologis suatu peristiwa, sehingga diperoleh sebuah kisah sejarah yang benar-benar sesuai dengan realita  peristiwanya. Setelah itu peneliti melakukan penafsiran  dan pemahaman fakta-fakta sejarah sesuai dengan sumber tertulis dan sumber lisan  yang berdasarkan pada aspek pembahasan.



Historiografi
Kegiatan terakhir dalam penelitian ini adalah merekonstruksi sejarah dalam bentuk  historiografi. Menurut Gottschalk (1980:32), historiografi adalah kegiatan merekonstruksi yang imajinatif berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses metode sejarah. Historiografi merupakan langkah yang terakhir dari hasil penelitian yang sudah disusun secara kronologis dan sistematis.
Dalam proses historiografi bukan hanya menata fakta-fakta secara telanjang  tetapi telah diproses melalui kaidah-kaidah pendekatan deskriptif kualitatif  dengan tetap mempertahankan karakteristik penelitian sejarah, Karena data/informasi yang peneliti peroleh di lapangan berbentuk cerita rakyat (tradisi lisan), sehingga diperlukan adanya pelurusan mengenai persepsi masyarakat terahadap Asta Tenggi. Menurut Nawawi (1996: 215-216) usaha untuk pelurusan jalannya sejarah yaitu dengan menggunakan metode sejarah di sisi lain juga menggunakan penelitian terapan. Metode terapan dengan mengunakan metode historis  bukan untuk mengubah atau memperbaiki suatu kejadian atau peristiwa yang sudah terjadi masa lalu, melainkan memperbaiki penuturan suatu peristiwa atau kejadian yang mungkin tidak sesuai  dengan yang sebenarnya yang terjadi masa lalu sehingga menjadi sejarah lisan. Melalui proses tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu karya sejarah  yang dapat dipertanggung jawabkan objektifitasnya.


BAB 4. PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lingkungan Sosio Kultural Desa Kebunagung Kecamatan Kota Sumenep Kabupaten Sumenep
Manusia  sebagai mahluk  biologis  dan sosial adalah sebagai pelaku sejarah  yang dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya, dimana manusia itu berada. Lingkungan dalam hal ini berkaitan erat dengan  sekitar terjadinya sejarah yaitu keadaan geografis dan kehidupan sosial budaya yang ikut mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya sejarah budaya dan masyarakat, salah satunya di Desa Kebunaung, Kecamatan Kota Sumenep. Hal tersebut akan dideskripsikan pada uraian berikut ini:

4.1.1        Keadaan Geografis
            Desa Kebunagung terletak di Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur. Jarak Desa Kebunagung dari kota Sumenep kurang lebih  2 (dua) kilomiter dengan waktu tempuh 15 menit, sedangkan jarak dari Surabaya  kurang lebih 180 kilometer (Data Monografi Desa Kebunagung, 2006).
Secara administratif, batas wilayah Kebunagung dari sebelah utara berbatasan dengan Desa Kasengan; sebelah timur berbatasan dengan Desa Pamolokan; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Batuan; dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Kasengan. Luas wilayah desa Kebunagung adalah 251.90 ha. Luas wilayah terdiri dari tanah kering yang digunakan sebagai tempat pemukiman seluas 244.40 ha, tanah sawah dan tegalan yang digunakan sebagai pertanian seluas 7.50 ha (Data Monografi Desa Kebunagung, 2007). Secara ekologis, Kebunagung memiliki iklim yang panas, tanahnya banyak berkapur dan tandus dan curah hujannya sangat sedikit. Berdasarkan data di atas, lahan sawah yang ada di desa Kebunagung masih bersifat tadah hujan sehingga masyarakat hanya dapat menanam padi satu kali ketika musim hujan. Lahan pertanian yang berupa tegal ditanami jagung dan singkong, lahan tegal ini oleh maysarakat dibiarkan begitu saja dan hanya berfungsi sebagai tempat mengembala hewan ternak ( sapi dan kambing ).
Aktifitas masyarakat petani bergantung pada seberapa lama musim penghujan. Jika musim penghujan panjang, maka hal itu sangat menguntungkan petani, karena penanaman padi yang diperoleh meningkat. Sebaliknya, jika terjadi musim kemarau yang berkepanjangan, maka petani sempat tidak bisa melakukan aktifitas penanaman padi karena lahan pertanian kering. Untuk menghadapi hal itu, penduduk setempat biasanya melakukan penanaman tembakau karena penanam tembakau tidak banyak memerlukan air.

4.1.2        Kependudukan
Jumlah dari keseluruhan penduduk Desa Kebunagung sebanyak 2266 jiwa (574 KK) yang terdiri  dari 1115 jiwa laki-laki dan 1151 jiwa perempuan. Adapun rincian selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1, berikut ini:
Tabel 1
Jumlah penduduk
No
Umur (thn)
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
1
0-5
120
128
248
2
6-16
230
248
478
3
17-25
273
258
531
4
26-55
380
392
772
5
56 +
112
125
237
Jumlah
1115
1151
2266
            Sumber : Monografi Desa Kebunagung, 2007
            Menyimak tabel tersebut (komposisi usia); penduduk berusia 0-5 tahun berjumlah 248 jiwa yang terdiri dari 120 jiwa laki-laki dan 128 jiwa perempuan, Usia 6-16 tahun berjumlah 478 jiwa yang terdiri dari 230 jiwa laki-laki dan 248 jiwa perempuan, berusia 17-25 tahun berjumlah 531 jiwa yang terdiri dari 273 jiwa laki-laki dan 258 jiwa perempuan, berusia 26-55 tahun berjumlah 772 jiwa yang terdiri dari 380 jiwa laki-laki dan 392 jiwa perempuan, dan penduduk yang berusia diatas 56 tahun berjumlah 237 jiwa yang terdiri dari 112 jiwa laki-laki dan 125 jiwa perempuan.
            Uraian jumlah penduduk Desa Kebunagung dapat memberikan gambaran bahwa masih banyak masyarakat yang peduli terhadap keberadaan Asta Tenggi terutama penduduk yang usianya 25 tahun keatas lebih mempertahankan hasil budaya dan tradisi dari leluhurnya, sedangkan penduduk yang usianya 7-25 tahun lebih menerima dan mudah terpengaruh budaya yang baru masuk ke wilayah tersebut. Pentingnya kepedulian dari masyarakat dalam melestarikan Asta Tenggi layak di pertahankan. Asta Tenggi yang merupakan benda cagar budaya yang memiliki keunikan, sejak dulu sampai sekarang tetap dilestarikan keberadaannya.
Mata pencaharian pokok penduduk  Desa Kebunagung, dapat dilihat pada tabel 2, berikut ini:
Tabel 2
Mata Pencaharian Penduduk
No
Pekerjaan
Jumlah
1
Petani
25
2
Buruh Tani
35
3
Industri RT
43
4
Pedagang
482
5
Pegawai Negri Sipil (PNS)
584
6
TNI/POLRI
32
7
Pensiunan
110
Jumlah
1311
Sumber: Monografi Desa Kebunagung, 2007.
Dari tabel mata pencaharian penduduk Desa Kebunagung, dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk yang bekerja adalah 1311 orang dengan mayoritas mata pencaharian penduduk sebagai petani yang memiliki lahan padi, jagung dan tembakau sebanyak 25 orang dan masyarakat yang bekerja sebagai buruh tani sebanyak 35 orang. Namun, mata pencaharian ini memiliki ketergantungan pada musim. Jika terjadi kemarau panjang, hal ini menguntungkan bagi petani tembakau karena hasil yang diperoleh bisa maksimal, tetapi sebaliknya, jika musim penghujan tiba, hasil yang diperoleh kurang memuaskan. Bagi petani padi, jika musim penghujan tiba, hal ini menguntungka bagi petani karena hasil yang diperoleh bisa maksimal.
            Penduduk yang berprofesi sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS) berjumlah 584 orang, dari golongan ABRI dan polisi 32 orang. Profesi lain yang terdapat di Desa Kebunagung yaitu wiraswasta/pedagang yang ditekuni oleh 482 orang, industri RT sebanyak 43 orang, Pensiunan 110 orang. Dilihat dari jumlah pekerja yang nampak bahwa profesi yang mendominasi pekerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yaitu 584 orang, sedangkan yang terendah adalah petani 25 orang.
Tingkat pendidikan masyarakat desa Kebunagung, dapat dilihat pada tabel 3, berikut ini:
Tabel 3
Tingkat pendidikan
No
Pendidikan
Jumlah
1
Tidak tamat SD
223
2
SD
576
3
SLTP
475
4
SMA
571
5
Diploma
138
6
Sarjana
283
Jumlah
2266
Sumber: Monografi Desa Kebunagung tahun, 2007.
Jika dilihat dari tingkat pendidikannya, masyarakat Desa Kebunagung termasuk maju, karena sampai sekarang masyarakat lebih mementingkan pedidikan. Penduduk yang berprofesi sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS) lebih banyak dari pada penduduk yang berprofesi sebagai petani, hal ini membuktikan bahwa pendidikan lebih penting. Anak-anak usia sekolah banyak yang memilih bersekolah dari pada membantu orang tuanya di sawah. Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang lebih tinggi cukup tinggi, mereka beranggapan dengan bekal ilmu yang tinggi akan mampu bersaing di era globalisasi. (wawancara dengan bapak Salam, 6 juli 2008)
Tingkat pendidikan yang tinggi berpengaruh pada perkembangan pola pikir masyarakat. Meskipun masyarakatnya tergolong masyarakat yang maju mereka tetap tidak mengabaikan trdisi yang ada. Mereka masih berpedoman pada nilai-nilai budaya dan tradisi yang sudah ada yaitu suatu bentuk penghormatan kepada leluhur yang harus tetap dijaga yaitu penghormatan Bhupa’ Bhabbu’, Guru, Ratoh.

4.1.3        Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial-budaya  masyarakat Kebunagung tampak begitu tenang dan damai, walau menghadapi kehidupan yang keras dan gersang. Hubungan sosial-budaya  dalam bertetangga terjalin dengan erat, dan mereka saling membantu satu sama lain. Sikap saling membantu terwujud dalam gotong-royong yang ada di masyarakat seperti hubungan dengan tetangga dan keluarga serta gotong-royong untuk kepentingan bersama. Gotong-royong yang berbentuk hubungan ketetanggaan atau kekeluargaan itu, misalnya dalam hajatan, kematian, pembuatan atau perbaikan rumah, perbaikan tambak. Dalam hal tertentu masih ada hubungan yang berbentuk hubungan ketetanggaan, misalnya dalam hal hajatan dan kematian. Sedangkan gotong-royong yang bersifat umum adalah perbaikan jalan, pembersihan sungai, serta pembersihan makam. Untuk meningkatkan rasa kegotong-royongan dalam masyarakat Kebunagung juga banyak terdapat perkumpulan-perkumpulan yang bernuansa religi seperti perkumpulan diba’, yasinan, sarwah, muslimat, fatayat, aswaja.

4.1.4        Kehidupan Religi
Penduduk di Desa Kebunagung mayoritas beragama Islam yang taat. Adapun riancian kepercayaan / agama yang dianut oleh masyarakat Kebunagung dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4
Agama/kepercayaan
No
Agama
Jumlah
1
Islam
2266
2
Kristen
-
3
Hindu
-
4
Budha
-
Jumlah
2266
  Sumber: Monografi Desa Kebunagung tahun, 2007.
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa mayoritas masyarakat Kebunagung memeluk agama Islam. Dengan demikian peran ulama menjadi amat menonjol. Meskipun masyarakat Kebunagung memeluk agama Islam dengan taat, namun mereka belum sepenuhnya meninggalkan bentuk-bentuk kepercayaan lama. Jadi selalu muncul tata nilai dan tata laku yang berdasarkan kepercayaan lama yang telah berakar di daerah ini. Masyarakat Kebunagung masih percaya makam keramat yaitu  kuburan yang dikeramatkan oleh warga suatu wilayah karena diyakini dapat memberikan perlindungan dan berjasa kepada seluruh warga di wilayah itu. Roh leluhur penghuni makam biasanya merupakan tokoh masyarakat yang pada masa hidupnya dipandang mempunyai kesaktian dan banyak berjasa bagi kehidupan masyarakat.
Mereka juga percaya pada kekuatan gaib terutama kekuatan yang berada pada benda-benda yang dianggap sakti dan keramat. Mereka amat menghormati benda-benda peninggalan nenek moyang atau pusaka peninggalan leluhur. Seperti keris, tombak dan pedang pusaka dianggap memiliki kesaktian, juga makam para leluhur dianggap suci dan keramat sehingga harus kerap di ziarahi.
Dalam Kehidupan religi, masyarakat Desa Kebunagung didasari adanya sebuah kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap roh leluhurnya, walaupun mayoritas beragama Islam, hal ini terbukti 90% masyarakat tergolong dari NU (Nahdlatul Ulama). Islam menurut Greetz (1983: 172-173) terbagi menjadi tiga yaitu abangan, santri dan priyayi. Pengertian santri adalah orang-orang yang mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap doktrin Islam dan bersikap kurang toleran terhadap kepercayaan animisme, dinamisme, praktik kejawen serta mempertahankan Islam sebagai kode etik yang lebih tinggi, pada umumnya berhubungan dengan unsur-unsur pedagang. Tradisi keagamaan santri adalah pelaksanaan yang cermat dan teratur atas perhatian peribadatan Islam (sembahyang, puasa, haji), kedermawanan. Abangan adalah orang-orang yang mengabaikan doktrin Islam, terpesona oleh detail keupacaraan tetapi masih toleran terhadap kepercayaan agama dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk. Adapun tradisi keagamaan abangan tampak pada upacara yang disebut slametan. Jika dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat tentang keberadaan mahluk halus dan alam gaib, maka orang-orang abangan  adalah orang-orang yang percaya terhadap mistik, para Santri tidak percaya terhadap mistik karena dianggap sirik. Sedangkan priyayi ini menitik beratkan  pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan  unsur-unsur birokrasi yang pada umumnya merupakan golongan bangsawan berpangkat tinggi dan rendah.
Berdasarkan kenyataan yang ada, masyarakat Desa Kebunagung tergolong masyarakat NU-abangan. Menurut Syam (2005:113) bahwa Wong NU ialah sekelompok orang yang mengaku dirinya sebagai wong ahlusunnah wal jama’ah dengan menekankan pengamalan keberagamannya atas tradisi keberagamaan masa lalu dan melakukan berbagai tradisi keagamaan yang bersentuhan dengan tradisi lokal, misalnya Nyekar untuk menghormati leluhur. Tradisi Islam lokal tersebut merupakan jalinan kerjasama antar berbagai agen dalam penggolongan sosio-religio-kultural yang berbeda. Hal ini terbukti dalam melakukan ziarah dalam doanya banyak menggunakan doa-doa kitab suci Al-Quran.
            Hal tersebut diperkuat Budiyono (1997:5-7), bahwa keyakinan Pra Islam tidak semua ditolak oleh agama Islam. Seperti dalam tradisi Nyekar di Asta Tenggi sebagai suatu perwujudan dalam menyeimbangkan kepentingan lahir dan batin, yang secara konsepsional dan keselarasan antara keyakinan asli masyarakat Kebunagung dengan konsep dasar Islam, sehingga menghasilkan sinkretisme budaya antara unsur-unsur keyakinan Pra Islam dengan Islam. Hal ini tampak dianggap sakral oleh masyarakat setempat karena adanya sebuah keyakinan dan penghormatan pada leluhur atau nenek moyang yang sudah meninggal.
 Jika dikaitkan dengan kehidupan religi, masyarakat Desa Kebunagung masih memegang teguh kepercayaan yang diwariskan  oleh leluhurnya  yang diwujudkan dengan pelaksanaan nyekar. Dalam setiap upacara yang diselenggarakan tampak sesuatu yang dianggap sakral, suci dan berbeda dengan yang lain. Di antara ciri-ciri yang sakral itu adalah adanya sebuah keyakinan, ritus, misteri, penghormatan kepada nenek moyang atau leluhur yang sudah meninggal dan supranatural (Syam, 2005:245-247).
Tujuan masyarakat melakukan ziarah ke Asta Tenggi ini adalah untuk berdoa dan bertawashul, serta sebagai media untuk mengingat kematian dan memberi penghormatan pada leluhur. Tokoh yang dimakamkan di Asta Tenggi adalah orang-orang penting yang juga ikut andil dalam perkembangan Sumenep dalam konteks ekonomi, politik, sosial budaya dan tidak ada satupun yang menyangkal bahwa beberapa tokoh yang dimakamkan di Asta Tenggi adalah waliyullah yang memiliki beberpa karomah dan kedekatan kepada Allah (wawancara dengan Bapak Sahrawi, 8 Juli 2008)

4.2          Gambaran Umum Kompleks Makam Asta Tenggi
            Kompleks makam Asta Tenggi terletak di Desa Kebunagung Kecamatan Kota Sumenep. Kompleks ini merupakan tempat pemakaman raja-raja Sumenep dan keluarganya. Sejak berdirinya pemerintahan Sumenep sampai sekarang makam tersebut masih digunakan sebagai tempat pemakaman keturunan raja dan kerabatnya. Oleh karena itu, kompleks makam Asta Tenggi tidak lepas dari pandangan dan penghormatan masyarakat terhadap rajanya yang telah meninggal dunia.
            Kompleks makam Asta Tenggi  menghadap ke arah selatan. Orientasi arah hadap kompleks makam tersebut diberi tanda dengan adanya dua buah tugu yang terletak di depan kompleks makam. Seluruh kompleks makam Asta Tenggi yang sangat luas tersebut dibagi menjadi 6 halaman antara lain :

4.2.1  Halaman I
            Halaman ini merupakan halaman depan yang di dalamnya tidak terdapat makam. Di sudut barat laut terdapat bangunan kantor dan tempat penjagaan. Bangunan timur laut yang lebih besar dipergunakan untuk menyimpan benda-benda seperti nisan yang lepas. Bangunan yang lain merupakan ruang kosong yang dapat digunakan sebagai tempat istirahat  para peziarah.
            Sisi selatan halaman depan ini dibatasi pagar tembok setinggi 2 (dua) m, yang memiliki pintu gerbang untuk masuk ke kompleks  Asta Tenggi. Pada sisi barat, juga dibatasi pagar yang tingginya 2 (dua) m, pagar tersebut terbuat  dari bata yang disusun menggunakan spesi. Di bagian tengah sisi barat ini terdapat pintu gerbang yang menghubungkan halaman 1 dengan halam II, pada sisi utara halaman 1 pagarnya berukuran tinggi 3 (tiga) m. pada sisi barat ini terdapat pintu gerbang yang tingginya mencapai 10 m, untuk menghubungkan dengan halaman IV. Halaman I di sisi timur dibatasi pagar setinggi 2,5 m. Pada tengah pagar sisi timur ini terdapat pintu gerbang tidak berdaun pintu yang menghubungkan halaman I dan halaman V.


4.2.2        Halaman II
            Halaman II ini terletak di sebelah barat halaman I, pada halaman II ini terdapat  sekitar 250 makam, sebagian makam itu terlihat baru dan sebagian lagi makam-makamnya sudah terlihat kuno. Makam-makam di halaman ini bukan makam raja-raja, tetapi makam para pejabat dan kerabat kerajaan. Di tengah halaman terdapat bangunan pendapa. Halaman II ini merupakan penghubung antara halaman I dan halaman III. Pada sisi utara halaman II terdapat pintu gerbang yang merupakan jalan masuk ke halaman III.

4.2.3        Halaman III
            Halaman III terletak di sebelah utara halam II yang merupakan tempat pemakaman raja-raja. Di samping itu terdapat makam para kerabat dan pejabat kerajaan. Dalam halaman ini terdapat sekitar 700 makam. Makam-makam tersebut sebagaian sudah lama dan sebagian lagi masih baru, ada yang di dalam cungkup dan ada pula yang di luar cungkup. Di sini terdapat tiga buah cungkup kecil dan tiga buah cungkup besar. Cungkup-cungkup besar tersebut  adalah cungkup para raja dan kerabat dekatnya. Ketiganya disebut dengan nama tokoh utama yang dimakamkan di dalamnya yaitu cungkup Pangeran Pulang Jiwo dan terdapat juga makam Raden Mas Anggodipo, Tumenggung Wirosari, Raden Tumenggung Pulang Jiwo, Pangeran Romo / Cokroneoro II. Cungkup Pangeran Jimat dan cungkup Bendara Saud. Ketiga cungkup tersebut terletak di bagian utara halaman III, berarti agak ke belakang. Cungkup Pangeran Jimat dan cungkup Bendara Saud terletak berjajar. Adapun cungkup Pangeran Pulang Jiwo terletak di belakang dan terdapat jalan berplester ke utara untuk menuju ke cungkup Pangeran Pulang Jiwo.

4.2.4        Halaman IV
            Halaman IV ini terletak di sebelah timur halaman III. Pada halaman ini terdapat  pembatas di belakang pintu gerbang besar. Di halaman ini ada sekitar 400 makam yang terletak di dalam dan di luar cungkup, terdapat dua buah cungkup kecil, satu mushalla kecil dan sebuah cungkup besar terdapat makam raja-raja Sumenep keturunan Bendara Saud yaitu Panembahan Somala, Sultan Abdurahman Pakunataningrat, Panembahan Mohammad Saleh, Pangeran Pakunataningrat, Raden Tumenggung Aryo Prataming Kusumo, Raden Tumenggung Prabuwinoto.

4.2.5        Halaman V dan VI
            Halamn V terletak di sebelah timur halaman I. pada halaman V ini terdapat sekitar 100 makam, sebagian merupakan makam lama dan sebagaian lagi makam baru. Pagar sisi selatan menyerong, sehingga pagar sisi timur tidak sama panjangnya dengan sisi barat.
            Halaman VI terletak di sebelah utara halaman V. pada halaman VI ini terdapat enam buah makam, yang terlihat hanya bagian ujung nisannya karena makam-makam tersebut sudah tertutup tanah dan ditumbuhi rumput-rumput liar, sehingga kalau dilihat sepintas makam-makam itu tidak terlihat. Halaman VI ini tidak mempunyai pintu gerbang yang langsung menghubungkan dengan halaman lain. Pintu gerbangnya justru terdapat di sisi timur yang menghubungkan dengan luar kompleks makam dan ukurannyapun sangat kecil selebar satu meter.
            Selain ke enam halaman di atas, terdapat halaman luar, yaitu halaman di luar kompleks utama sampai batas tugu pintu gerbang ke kompleks makam Asta Tenggi. Dari tugu pintu gerbang kekompleks utama ini dihubungkan dengan jalan besar beraspal dan menanjak sepanjang 600 m. Di kanan jalan besar halaman luar menuju ke kompleks makam utama tersebut terdapat cungkup Asta keluarga Raden Adipati Soero Adimenggolo yaitu raja (Bupati) Semarang (Suro Adi Menggolo V), cungkup kuburan keluarga Raden Adipati Pringgoloyo (Raden Ario Notodiningrat) dan ratusan makam lain yang tersebar di sisi sebelah bukit ini. Di sebelah barat makam Suro Adi Menggolo V dan Raden Ario Notodingrat tepat di belakang cungkup Panembahan Somala terdapat cungkup makam Pangeran Dipenogoro. Di sebelah sisi makam Dipenogoro ini juga terdapat makam-makam yang tidak terawat dan ditumbuhi tanaman-tanaman liar. Dari beratus-ratus makam itu, sebagian makam-makam lama dan sebagian lagi makam-makam baru.
           
4.3          Keunikan Asta Tenggi di Desa Kebunagung Kecamatan Kota Sumenep Kabupaten Sumenep
            Salah satu syarat kebudayaan masyarakat dapat menjadi obyek wisata budaya adalah memiliki ciri khas tersendiri yang memiliki keunikan yang tidak ditemukan di tempat yang lain. Keunikan inilah yang akan menghadirkan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.
            Benda cagar budaya merupakan daya tarik bagi wisatawan, terutama wisatawan mancanegara untuk mengenali peradaban Indonesia di masa lalu khususnya di Sumenep. Asta Tenggi yang menjadi cagar budaya penting bagi Dinas Pariwisata Sumenep ini benar-benar bisa dimiliki oleh masyarakat Sumenep. Makam-makam di Asta Tenggi menjadi media tawasul oleh peziarah. Makam-makam ini menjadi saksi atas berbagai keluh kesah dan harapan akan perbaikan hidup yang diurai oleh sitiap peziarah yang mengunjunginya.

4.3.1        Persepsi Masyarakat Terhadap Asta Tenggi
            Asta menurut istilah bahasa halus yang dipakai oleh masyarakat Sumenep yaitu tempat peristirahatan terakhir orang-orang yang dihormati dan dianggap keramat, misalnya para pendiri kerajaan, kiai atau orang-orang besar dengan kharisma tinggi. Asta Tenggi adalah makam tinggi karena letak kompleks ini berada di bukit di daerah dataran tinggi yang cukup sejuk dan tenang. Jumlah makam di Asta Tenggi ada ribuan yang semuanya adalah keluaraga penguasa Sumenep beserta keturunannya
            Dari ribuan makam yang ada di Asta Tenggi itu, ada empat kompleks makam utama yang ditandai dengan cungkup atau kubah yaiu cunggkup makam Pangeran Panji Pulang Jiwo, cungkup Pangeran Jimat, cungkup Bendara Saud dan cungkup makam Panembahan Somala. Dari keempat cungkup itu menurut masyarakat mempunyai berkah dan karomah yang berbeda-beda. Tidak hanya dikarenakan mereka memiliki kebesaran nama dimasa lalu, tetapi sebagai tempat untuk tawasul dan tabarruk. Sedangkan yang dimaksud karomah menurut Ruslan (2007:22) adalah tanda-tanda kewalian sebagai mana nabi mempunyai mukjizat, sebab kewalian dalah sebagian dari kenabian. Wujud karomah antara lain membangkitkan orang mati, bercakap-cakap dengan orang suci yang telah meninggal, berjalan di atas air, keajaiban mengubah sesuatu, bergerak cepat menempuh jarak yang jauh, berbicara dengan binatang dan pepohonan, menyembuhkan penyakit, bilokasi (berada di dua tempat pada waktu bersamaan), kemampuan mengubah diri dan berbagai keajaiban yang lain.
            Kewalian raja-raja Sumenep seakan menjadi sumber kekuatan tersendiri bagi peziarah. Meski sudah tidak hidup di alam dunia, tokoh-tokah yang dimakamkan di Asta Tenggi diyakini oleh masyarakat dianggap dan masih menyimpan berbagai karomah. Pangeran Panji, bagi masyarakat dia adalah wali yang dikasihi Allah. Menurut cerita ketika tersiar kabar bahwa Pangeran Panji wafat di medan perang tiba-tiba muncul ke keraton dengan keadaan sehat Wal afiat. Sejak saat itulah pangeran Panji lebih sering disedut dengan Pangeran Panji Pulang Jiwo. Pangeran jimat atau Cakranegara III adalah putra dari Pangeran Rama. Nama kecil dari pangeran Jimat ialah Raden Achmad karena perkataannya selalu benar oleh masyarakat dianggap seperti jimat yang selalu membawa keberuntungan, sejak saat itulah disebut Pangeran Jimat. Keberadaan makam Pangeran Jimat berada di luar kompleks, oleh Sultan Abdurahaman dipindah ke dalam kerena dianggap sangat berbahaya dengan kesakralannya, menurut cerita dulu ketika ada berung terbang yang lewat di atas makam Pangeran Jimat jatuh dengan sendirinya.
            Banyak sekali cerita yang berkembang di kalangan masyarakat tentang karomah yang dimiliki raja-raja Sumenep. Namun nampaknya Bendara Saud memiliki arti penting bagi rakyat biasa. Muhammad Saod adalah seorang santri yang berasal dari kalangan orang biasa. Seperti namanya, bendara dalam bahasa Madura santri, Muhammad Saud bukanlah seorang Raden ataupun seorang Pangeran. Beliau dinikahi oleh Ratu Ayu Tirtonegoro yang menjanda karena menikah selama lima kali selalu gagal. Ratu Ayu Tirtanegara, oleh para sesepuh keraton disarankan  untuk bersuami sebagai pendamping hidupnya. Tujuannya agar tugasnya lebih ringan dalam menjalankan roda pemerintahan. Ratu Ayu Tirtanegara melakukan shalat istkharah dan memohon petunjuk kepada Allah swt selama 40 hari. Dalam mimpinya ia didatangi seorang lelaki penyabit rumput. Ratu Ayu Tirtanegara merasa kurang percaya pada mimpinya, ia mengulang kembali salat istikharah dan memohon petunjuk, namun yang datang dalam mimpinya masih tetap seorang lelaki penyabit rumput. Dalam mimpinya yang terakhir lelaki itu memberitahukan namanya ialah Bendara Moh. Saud dari desa Lembung Barat Kecamatan Lenteng. Keesokan harinya diutuslah beberapa mentri Keraton untuk menjemput Bendara Saud ke Lembung Barat. Pada waktu Bendara Saud menghadap Ratu Ayu Tirtanegara sebagian yang hadir di Keraton sama-sama terkejut, karena yang dipanggil ternyata hanya seorang lelaki tukang rumput.
            Setelah selang 3 (tiga) hari kemudian Bendara Saud kembali ke Keraton. Selanjutnya penghulu Keraton dipanggil guna melaksanakan akad nikah. Kemudian diadakan selamatan walimatun nikah secara sederhana.
            Setelah tersiarnya kabar bahwa Ratu Ayu Tiranegara telah menikah dengan golongan rakyat biasa, menimbulkan kontroversi dan menimbulkan rasa dendam di kalangan Keraton, sedangkan para Patih yang mau melamarnya selalau ditolak oleh Ratu Ayu Tirtonegoro. Patih R. Purwanegara, sejak lamarannya ditolak oleh Ratu Ayu Tirtanegara, ia tidak pernah hadir ke Keraton untuk menjalankan tugasnya sebagai patih. Setelah Patih R. Purwanegara mendengar bahwa Ratu telah menikah dengan Bendara Saud, rasa dendam dan marahnya semakin menjadi-jadi. Kemudian ia mengambil pedang, lalu diasah sampai tajam untuk membunuh Bendara Saud. Ketika hendak membunuh, Patih R. Purwanegara tewas tertikam keris oleh seorang senopati Sumenep bernama K. Sawunggaling.
            Menurut cerita salah satu raja di dunia yangyang mampu berinteraksi dengan manusia sejak dalam kandungan adalah Bendara Saud. Sejak saat itulah diberi nama Muhamad Saud atau lebih dikenal Bendara Saud. Dari cerita tersebut makam Bendara Saud menjadi tujuan utama bagi para peziarah dari kalangan rakyat kecil untuk mengadukan persoalan hidupnya.
            Pangeran Natakusuma alias Panembahan Somala, punya pengetahuan agama yang luas dan mendalam sesuai dengan kebutuhan masyarakat Sumenep saat itu. Di dalam menjalankan roda pemerintahannya ia serba hati-hati sekali, takut sampai merugikan masyarakat. Kalau menyangkut kepentingan masyarakat selalu dimusyawarahkan dengan sesepuh keraton dan para ulama, beliau mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi. Setelah Panembahan Somala meninggal beliau digantikan anaknya yaitu Sultan Abdurahman Pakunataningrat. Untuk menghhormati ayahnya Sultan Abdurahman membuat bangunan di Asta Tenggi yang terletak di bagian timur kompleks pemakaman. Sultan Abdurahman di samping seorng wali beliau juga seorang ilmuan dan negarawan yang dapat menguasai beberapa bahasa, antara lain Bahasa Madura, Jawa Kawi, Melayu, Arab, Sansekerta dan Belanda. Karena luas pengetahuannya di bidang kebudayaan, ia juga menjadi orang kepercayaan Raffles. Menurut cerita, Sulatan Abdurahman pernah  menulis Al-Quran dengan ditulis tangan yang dikerjakan dalam waktu semalam yang sekarang tulisan Al-Quran tersebut disimpan di museum keraton Sumenep. Sultan Abdurahman juga pernah memecahkan permasalahan yang ada di Mekah. Pada saat itu seorang raja di Mekah tidak bisa memecahkan permasalahan yang terdapat dalam sebuah kitab, setelah itu raja tersebut tidur dan mendapat wangsit bahwa yang bisa memecahkan masalah tersebut adalah raja Sumenep. Raja tersebut mengutus dua orang santrinya dengan membawa kitab yang tidak bisa dipecahkan oleh raja Mekah. Dalam perjalanan kitab tersebut jatuh ke laut karena diterjang ombak besar, setelah sampai di Sumenep dua santri tersebut bertemu Sultan, kemudian dia bercerita kalau kedatangannya ke Sumenep adalah utusan dari raja Mekah untuk memecahkan sebuah kitab yang tidak bisa dipecahkan oleh raja Mekah tetapi kitab tersebut jatuh dalam perjalanan. Setelah Sultan Abdurhaman mendengar cerita dari kedua santri tersebut, kemudian Sultan Abdurahman masuk ke dalam kamar. Setelah keluar dari kamar Sultan Abdurahman membawa kurma yang masih ada getahnya dan membawa kitab yang jatuh ke laut yang masih menetes air. Hal ini membuktikan bahwa dunia hanya segenggam tangannya. Kemudian Sultan bercerita kalau ia pergi ke Mekah dan mengambil kurma dan bertemu dengan seorang janda. Setelah permasalahan dapat dipecahkan oleh Sultan maka kedua santri tersebut kembali ke Mekah dan membuktikan bahwasannya Sultan sedang bertemu seorang janda. Setelah sampai di Mekah kedua santri tersebut bertemu seorang janda yang ditemui Sultan Abdurahaman, kemudian janda tersebut mengaku kalau sedang bertemu seorang raja Sumenep yang bernama Sultan Abdurahman dan pohon kurma tersebut ada tulisan nama Abdurahman.
Di kompleks pemakaman terdapat pohon mengkudu yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Masyarakat beranggapan bahwa buah mengkudu yang ada di Asta Tenggi mencegah kemandulan. Bagi peziarah yang belum dikaruniai anak setelah selesai berdo’a ke makam, mereka mengambil buah mengkudu yang berada di sebelah timur pendapa Bendara Saud yang dipercaya akan membuat hamil. Masyarakat juga beranggapan bahwa setelah selesai berdo’a di makam, peziarah membawa kerikil dan kembang yang ada di atas makam. Masyarakat beranggapan apabila membawa kerikil dan kembang akan membawa berkah yang dapat mengabulkan keinginan setiap peziarah.
            Masyarakat setempat juga percaya bahwa Asta Tenggi adalah tempat yang sakral, kalau ada orang yang berniat tidak baik dan tidak mempunyai sopan santun (tatakrama) ketika masuk ke makam, maka ia akan terkena musibah. Seperti wasiat Panembahan Natakusuma II yang ditulis dalam prasasti di depan pintu gerbang masuk ke cungkup Panembahan Somala. Penggalan isi dari prasasti tersebut : “maka bagi orang yang berziarah pada kuburan ini agar bersopan santun (tatakrama) menurut agama Islam (syara’) sepertinya bersopan santun kepada pemilik asta ini sewaktu masih hidup”. Menurut informan, kalau mau mengambil foto makam, jika tidak minta izin dulu pada juru kunci kebanyakan foto tersebut tidak jadi (terbakar) dan dulu pernah ada kejadian ketika ada artis dari Jakarta yang datang ke Asta Tenggi berfoto-foto dengan pakaian yang agak terbuka, ketika dalam perjalanan pulang sampai daerah Sampang terjadi kecelakaan, semua yang ada di dalam mobil meninggal. Asta  yang selalu dikunjungi oleh masayarakat meski tidak selalu ramai, selalu ada peziarah yang datang setiap harinya. Dalam setahun, bulan yang ramai pengujung biasanya bulan Muharram, Rajab, Ramadhan dan Syawal. Dalam sebulan yang paling ramai adalah malam Jumat Manis (Jumat Legi) Adapun dalam seminggu hari yang paling ramai adalah hari Sabtu, Selasa dan Jumat.
Tabel 5
Perkembangan Jumlah Pengunjungan Tahun 1998-2007
No
Tahun
Jumlah Peziarah
Wisatawan Nusantara
Wisatawan Mancanegara
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
12.500
14.570
15.560
20.000
19.000
21.000
23.000
45.000
36.000
50.600
55.905
24
26
30
10
15
17
22
27
24
10
16
Sumber : Buku tamu Asta Tenggi

4.3.2        Pelaksanaan Ziarah Di Asta Tenggi
a.      Tujuan Pelaksanaan Ziarah Di Asta Tenggi
            Bagi orang yang suka dan sering mengunjungi tempat-tempat ziarah, Asta Tenggi bukanlah tempat yang asing. Kebanyakan para peziarah beranggapan bahkan percaya bahwa dengan melakukan ziarah ke tempat-tempat itu akan mendapat keberuntungan. Paling tidak peziarah itu percaya bahwa di tempat itu seseorang dapat melihat, mengetahui nasib dan keberuntungan. Para peziarah yang mengunjungi tempat-tempat keramat, termasuk mereka yang datang ke Asta Tenggi, dilandasi oleh niat, tujuan yang didorongan oleh kemauan batin yang mantap. Di antara pengunjung yang berziarah itu masing-masing mempunyai motivasi yang belum tentu sama dengan yang lain tergantung apa yang akan diminta dan kepentingannya. Para peziarah tersebut datang ke Asta Tenggi dengan berbagai maksud dan tujuan tertentu mulai dari minta tambahan rezeki, cepat mendapat pekerjaan, ingin mendapat kewibawaan dan disegani masyarakat sekitar, ingin ditinggikan derajatnya, ingin mendekatkan diri kepada yang Kuasa dan ada juga yang hanya ingin menikmati perjalanan wisata ziarah wali dan ingin menikmati tempat-tempat wisata yang ada di Sumenep. Asta Tenggi yang diyakini dapat memberi harapan untuk hidup yang lebih baik dari sekarang misalnya memberi keselamatan, ketenangan hidup dan lain sebagainya.
Para peziarah yang datang ke Asta Tenggi tidak saja berasal dari daerah Sumenep saja, tetapi juga dari luar Sumenep. Bahkan ada juga pengunjung yang berziarah dari mancanegara. Pengunjung yang datang dari luar negeri hanya ingin menikmati kunjungan wisata yang ada di Sumenep dan sebagian peziarah nusantara ada yang ingin meninikmati kunjungan wisata saja. Para peziarah yang berkunjung ada yang secara perseorangan, dalam kelompok atau rombongan kecil, dan ada juga yang datang secara rombongan dalam jumlah besar. Para peziarah yang datang ke Asta Tenggi yaitu mulai dari santri, pejabat, pedagang, petani, nelayan, seniman (sinden, kelompok musik tradisional saronen), wirausahawan, bahkan dari kalangan orang yang hobi kerapan sapi. Peziarah yang datang kebanyakan dari golongan ekanomi menengah ke bawah, seperti pedagang dan petani. Dalam hitungan bulan yang ramai pengunjung adalah bulan muharram, rajab, ramadhan dan syawal. Dari keempat bulan tersebut merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah dalam melakukan ibadah. Sebagaimana Allah SWT berfirman :
“sesunguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (bulan yang dimuliakan Allah). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam empat bulan itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (At Taubah : 36)

            Dalam sebulan jumlah pengunjung yang meningkat pada hari Jum’at Legi. Hari ini diyakini oleh peziarah sebagai hari baik untuk mencari berkah. Hari jum’at merupakan hari yang baik untuk berziarah, seperti yang terdapat dalam riwayat Abu Hurairah, Rasullah SAW bersabdah : ”Siapa ziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satu pada setiap hari jum’at, Allah akan mengampuni segala dosa-dosanya dan mencatat sebagai bakti dia kepada orang tuanya” (HR. Hakim). Hari Jum’at Legi dikeramatkan karena menurut kepercayaan pada hari tersebut adalah kesempurnaan penciptaan manusia pada hari Jum’at (Mikam, 2007:2-3). Hari Jum’at Legi sebagai hari penuh berkah tepatnya pada malam Jum’at Legi dianggap sakral. Di dalam agama Islam, hari yang paling baik bagi orang Islam adalah hari Jum’at, sehingga dianggap baik untuk memohon do’a kepada Allah (Mikam, 2007: 48). Sebuah hadist (Nasution, 2005:69) mengatakan : ”Alyaumul mau’d adalah hari kiamat, al yaumul masyhuud adalah hari arafah dan As Syahid adalah hari Jum’at” (HR At-Tarmidzi). Maksudnya Jum’at merupakan hari pahlawan bagi umat Islam dalam memperjuangkan dan menegakkan Islam. Hari Jum’at merupakan sebaik-baik (hari raya dari semua hari bagi umat Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW (Nasution, 2005:70): ”Di dalam hari Jum’at terdapat suatu saat yang tidak sekali-kali seorang hamba muslim menjumpainya sedangkan ia dalam keadaan berdiri dalam sholatnya serta meminta sesuatu kepada Allah, kecuali Allah memberikan permintaannya, seraya mengisyaratkan dengan tangannya yang mengungkapkan bahwa saat tersebut sebentar sekali dan tidak lama.
            Di antara peziarah-peziarah tersebut ada yang baru sekali datang ke Asta Tenggi, ada yang tiga kali bahkan beberapa kali. Apabila hajatnya terkabulkan maka mereka akan kembali lagi ke Asta Tenggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kain yang terdapat pada nisan-nisan yang ada di Asta Tenggi, yang semua itu berasal dari para peziarah apabila hajatnya terkabulkan. Dari keempat cungkup yang ada di Asta Tenggi membuat para peziarah semakin memantapkan hajatnya. Menurut informasi juru kunci Asta Tenggi, dari keempat cungkup mempunyai berkah dan karomah yang berbeda-beda. Pada kubah Pangeran Panji Pulang Jiwo diyakini dapat memberikan kesaktian dan hal-hal yang berkaitan dengan urusan kelelakian. Sedangkan pada cungkup Pangeran Jimat dan Bendara Saud diyakini dapat menambah tambahan rezeki dan pada cungkup Panembahan Somala diyakini dapat meninggikan derajat atau kedudukan (wawancara dengan Bapak Moh. Hasan, 14 Juli 2008).
            Dari keempat cungkup tersebut nampaknya Bendara Saud mempunyai arti penting bagi peziarah. Seorang informan Ibu Tutik, 30 tahu dan perkerjaannya sebagai pedagang. Ibu Tutik berasal dari Pamekasan yang pada saat itu sedang mengaji pada waktu tengah malam di makam Bendara Saud. Ketika ditanya dia sedang menjalani nadzar apabila arisan saya kena saya akan ngaji dan semedi di makam Bendara Saud (wawancara dengan Ibu Tutik, 1 Juli 2008). Seorang informan Bapak Imam 27 tahun. Bapak Imam berasal dari Pasongsongan  ketika itu sedang bersama anaknya yang masih sekolah di TK sedang mengaji di makam Bendara Saud, ketika ditanya, anaknya pada waktu itu sedang sakit kena diare dan sudah diobati kemana-mana masih belum sembuh. Ketika solat magrib di rumanya Bapak Imam sambil berdo’a apabila dikasih kesembuhan pada anaknya ketika sembuh nanti akan dibawa mengaji ke makam Bendara Saud. Alhamdulillah setelah dapat beberapa hari anaknya dikasi kesembuhan oleh yang Kuasa dan bapak Imam segera memenuhi nadzarnya ke makam Bindara Saod (wawancara dengan Bapak Imam, 3 Juli 2008).
            Seorang informan penjaga Asta Tenggi Bapak Hasan 55 tahun. Bapak Hasan berasal dari Pandien mengaku tradisi nadzar juga dilakukan oleh beberapa pesinden. Dengan bertawasul, mereka menyampaikan harapan agar sering ditanggap orang sehingga rezekinya lancar. Mereka juga menjadikan Asta Tenggi sebagai tempat dan salah satu media untuk menggapai cita-cita seperti itu. Beberapa pesiden terkenal di Sumenep seperti Mahwani melakukan ritual  khusus ketika pertama menjadi sinden. Bahkan juga dilakukan oleh kalangan orang yang hobi kerapan sapi juga ikut menyampaikan keinginannya dan melakukan tradisi nadzar. Sehingga ketika harapannya terkabul, mereka kembali berziarah dengan membawa sapi kerapannya yang menang lengkap dengan pemusik saronen dan klenengan. Mereka menggunakan saronen sebagai wujud keseriusan mereka menyampaikan rasa syukur (wawancara dengan Bapak Hasan, 3 Juli 2008)      .
            Pengunjung yang berziarah ke Asta Tenggi tidak hanya bertujuan untuk mencari berkah dan berburu rezeki. Ada juga di antara pengunjung yang berziarah ke Asta Tenggi dengan niat lain, misalnya untuk minta keselamatan, ingin mendekatkan diri kepada Allah, mencari ketenangan, ingin mendapat kedudukan,  ingin mendapat kesaktian dan bahkan ada yang tidak punya niatan apa-apa.
            Keselamatan menurut pandangan peziarah tidak terbatas pada keselamatan fisik, tetapi juga keselamatan dalam artian yang menyangkut kehidupan keluarga (keutuhan rumah tangga) dan keselamatan dalam tugas pekerjaan. Untuk memperoleh keselamatan ini perlu diwujudkan keseimbangan atau keselarasan hubungan, baik secara vertikal (spiritual) maupun horizontal.
            Keselamatan hubungan secara vertikal (spiritual) itu adalah dengan Tuhan YME sedangkan keselarasan hubungan horizontal (sosial) adalah hubungan antara manusia dengan sesama makhluk hidup dalam lingkungan sosial yang sama dan alam semesta. Dengan terciptanya keselarasan hubungan ini, maka manusia akan memperoleh keselamatan dalam hidupnya, karena yang diutamakan adalah keselamatan.
            Ipein berasal dari Batang-batang adalah seorang mahasiswa yang hobi ziarah ke makam para wali. Menurutnya  kuburan adalah tempat paling nyaman untuk menenangkan hati dan fikiran. Kuburan akan mengingatkan kita akan kematian, nanti kalau tiba waktunya kita juga akan pergi menghadap sang Khalik dan bagus sekali bagi orang yang selalu mengingat mati, hal itu akan membuat kita lebih waspada dan selalu taat akan perintah Allah. Menurut dia dengan hati yang ikhlas dan pasrah berziarah sambil berdzikir di makam, maka akan mudah menemukan maqam-maqam yang ada pada dirinya. Tujuan saya datang ke Asta Tenggi semata-mata saya ingin bersilaturrahmi dengan ahli kubur dan ingin mengetahui perjalanan sang ahli kubur dalam mendekatkan diri kepada Allah (wawancara dengan Ipein, 1 Juli 2008).
            Ada sebagian masyarakat yang melakukan tirakat, baik masyarakat setempat maupun masyarakat luar. Dalam melakukan tirakat biasanya banyak terdapat godaan yang berupa ular, katak, orang cebol, khusus di cungkup Bendara Saud dan Panembahan Somala/Sultan Abdurahman, dia sendiri yang hadir dengan berpakaian putih-putih dan naik kuda putih. Menurut informan sulit sekali bagi orang yang tirakat untuk dipertemukan sang tokoh, kecuali bagi orang yang melakukan tirakat hanya semata-mata ingin mendekatkan diri kepada Allah.
            Dari beberapa kasus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada umumnya tujuan para peziarah yang datang berkujung ke Asta Tenggi adalah untuk mencari berkah, berburu rezeki dan ada pula yang datang untuk menenangkan fikiran, mawas diri, mencari atau memohon keselamatan. Berbagai motif dan ritual dilakukan di sana, namun kesemuanya tetap menjaga bahwa Asta Tenggi adalah tempat yang suci, tempat dimana para leluhur masyarakat Sumenep memiliki kelebihan dan kedekatan dengan Yang Maha Kuasa beristirahat dengan tenang. Semua orang menjaga ungkapan yang dipegang sebagai nilai luhur yang harus dijaga, yaitu penghormatan Bhuppa’, Bhabbu’, Guru, Rato. Sebuah norma yang harus terus diwariskan kepada anak cucu yaitu penghormatan kepada orang tua, guru dan raja.
            Para peziarah yang merasa hajatnya terkabulkan ada yang mengadakan syukuran dengan menyelenggarakan selamatan di Asta Tenggi. Di samping selamatan bagi orang yang mempunyai hajat ingin punya anak dan hajatnya terkabul maka setelah berumur 7 (tujuh) bulan, mengadakan uapacara matoron katana.

b.      Proses Selamatan
            Bagi peziarah yang merasa hajatnya terkabulkan ada yang mengadakan selamatan di Asta Tenggi. Upacara tersebut dilakukan oleh peziarah yang merasa bahwa hajatnya setelah melakukan ziarah di Asta Tenggi tercapai dan merupakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang diberikan. Di samping itu acara selamatan juga mengandung makna sebagai rasa penghormatan terhadap roh leluhur. Menurut Koentjaraningrat (1984:347), pada mayarakat Jawa banyak dikenal upacara selamatan yang pada dasarnya dapat dibagi dua kategori yaitu selamatan yang bersifat keramat dan tidak bersifat keramat. Upacara keselamatan bagi orang yang pada waktu mengadakan upacara, utamanya pada saat selamatan berlangsung, merasakan getaran emosi keagamaan seperti hari raya idulfitri, mauludhan. Upacara selamatan yang bersifat keramat dapat terlihat pada upacara kematian, bersih desa, selamatan hari besar Islam dan lain sebagainya. Sedangkan uapcara yang tidak bersifat keramat adalah upacara yang tidak menimbulkan emosi keagamaan pada orang-orang yang melakukan  selamatan. Upacara selamatan tesebut misalnya pindah rumah, nadzar dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1984:348). Sesuai dengan pandangan Koentjaraningrat, maka upacara selamatan di Asta Tenggi yang dilakukan setelah seseorang terkabul hajatnya termasuk pada upacara yang tidak bersifat keramat karena tidak menimbulkan emosi keagamaan dan sekedar memenuhi nadzar seseorang. Selamatan yang sekedar memenuhi nadzar seseorang hanya terkait dengan kepentingan individu dan tidak ada hubungannya dengan kepentingan keagamaan maupun selamatan yang secara kolektif mampu menimbulkan emosi keagamaan bagi masyarakat yang melakukannya.
            Mereka datang kembali ke Asta Tenggi dengan membawa sesaji berupa rasol matta dan rasol massa’ yang merupakan wujud bahwa kita berasal dari Allah dan kembali kepada Allah. Rasol matta berupa rasol yang masih mentah seperti beras, telor, jajan genna’  dan uang yang yang berfungsi sebagai saksi. Rasol massa’ berupa tumpeng (nasi putih yang dibentuk seperti kerucut) dengan lauk pauk telor atau ayam panggang menurut kemampuannya, dilengkapi dengan rap-orap (urap) yaitu sayuran yang diberi bumbu kelapa yang diparut. Nasi tumpeng merupakan simbol gunung sebagai tempat para dewa dan roh halus tinggal, sedangkan telur dan ayam merupakan simbol bayi yang masih suci. Dengan menyajikan kedua mecam sesaji tersebut berharap dan sekaligus mengandung makna sebagai persembahan rasa terima kasih, baik kepada Tuhan maupun kepada roh leluhur dan juga memohon ampun atas dosa yang telah dilakukan (Moertjipto, 1997 : 93). Jajan genna’ (jajan pasar) yang terdiri dari tujuh macam yang merupakan simbol bahwa tubuh manusia diciptakan dengan lengkap (genna’) yaitu tujuh unsur alam raya yang sangat mempengaruhi umat manusia yang terdiri dari bumi, langit, udara, air, api, matahari dan rembulan. Menurut Geertz (1981 : 14-15), upacara selamatan mempunyai sifat religi karena selama upacara itu berlangsung segala perasaan terhadap orang lain akan hilang untuk mencapai rasa ketenangan jiwa. Berkaitan dengan salah satu makna upacara selamatan yaitu memelihara hubungan dengan arwah nenek moyang, maka ada keterkaitan makna selamatan yang dilakukan seseorang setelah merasa terkabul hajatnya usai melakukan ziarah di Asta Tenggi. Sebelum acara selamatan dilaksanakan terlebih dahulu mereka menghubungi juru kunci di Asta Tenggi. Sesaji ini dibawa ke dalam cungkup dan diletakkan di depan makam. Pelaksanaan upacara selamatan dipimpin oleh juru kunci dan ikuti oleh penduduk sekitar Asta Tenggi. Juru kunci membaca do’a-do’a tergantung permintaan orang yang punya nadzar. Do’a-do’a tersebut merupakan sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penghormatan kepada sang tokoh yang dimakamkan di Asta Tenggi.

c.       Upacara Matoron Ka tana
            Upacara matoron ka tana yang juga sering disebut dengan nyabe’ ka tana (turun tanah). Upacara ini dilakanakan oleh peziarah yang hajatnya terkabul setelah dikaruniai seorang anak. Upacara matoron ka tana, dilaksanakan pada saat bayi sudah berumur tujuh bulan. Waktu pelaksanaan ini tidak dibedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan. Untuk menentukan hari, dipilih hari yang baik, dan orang yang tahu dalam memilih hari adalah pak kiai dan orang yang dianggap pintar dan mempunyai kelebihan dalam menentukan hari yang paling baik. Ia perhitungannya menggunakan semacam primbon berbahasa Arab yang kemudian disesuaikan dengan hari kelahiran  si bayi.
            Upacara ini bertujuan supaya si bayi mulai mengenal bumi tempat ia hidup dan sekaligus sebagai penolak balak agar tidak mudah terkena gangguan-gangguan penyakit. Kalau bayi itu sudah diturunkan ke tanah sebelum ia berusia genap tujuh bulan, kata orang Madura jube’ (jelek) sebab hal ini akan mudah kena gangguan ghaib (saban). Tujuan yang lebih luas adalah untuk menunjukkan ketaatannya kepada adat dan sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan. Sehingga pada masa depan keluarganya dan si bayi mendapatkan rahmat Tuhan dan diberi rejeki serta tubuh yang sehat.
            Untuk upacara matoron ka tana diperlukan beberapa macam makanan. Pertama, di antaranya nasi tumpeng rap-orap (urap). Ini adalah nasi yang dibentuk kerucut lengkap dengan sayur-sayuran yang diberi bumbu kelapa yang diparut. Lauknya adalah telur atau ayam tergantung pada kemampuan orang yang punya hajat. Juga diperlukan jenang merah yaitu semacam bubur dari tepung beras yang dicampur dengan gula merah dengan rasa yang manis yang biasa dibuat untuk upacara matoron ka tana bagi orang Sumenep. Makanan lain adalah jajan pasar yakni makanan yang harus dibeli di pasar yang terdiri dari tujah macam atau biasa disebut jajan genna’.
            Benda-benda yang diperlukan adalah talam (baki atau nampan), dhamar kambang (lampu sesajen), uang receh dan kemenyan. Talam ini berfungsi sebagai tempat untuk sesaji. Dhamar kambang merupakan simbul bahwa ilmu yang ada pada diri bayi tersebut agar selalu dibawa ke jalan yang terang atau yang benar. Jumlah uang receh bebas dan uang ini berfungsi sebagai saksi yang diambil oleh pak kiai yang memimpin upacara. Terakhir adalah macam-macam benda yang nantinya akan disajikan si bayi untuk melihat yang mana yang ia pilih.
            Upacara matoron katana biasanya dilaksanakan pada siang hari sekitar jam 13.00 WIB atau 14.00 WIB, yaitu ketika matahari sudah sepenggal. Tetapi pagi hari juga tidak apa-apa, yang penting jangan malam hari atau pada saat matahari mulai terbenam karena takut bayi tesebut sedang istirahat.
            Seperti dalam upacara-upacara yang lain, upacara ini diawali dengan kenduri yang hanya diikuti oleh anak kecil yang masih sekolah ditingkat SD yang mereka semua adalah anak laki-laki, terdiri dari para tetangga terdekat. Jumlah peserta yang diundang tidak ada batasnya. Semua itu terserah kepada orang yang punya hajat dan biasanya disesuaikan dengan kemampuannya.
            Pak kiai, sebagai pemimpin upacara membacakan do’a yang diambil dari ayat-ayat suci Al-Qur’an, kadang-kadang orang yang punya hajat minta tolong kepada penjaga Asta Tenggi untuk memimpin upacara tersebut. Sesaji yang terdiri dari makanan dan benda-benda seperti Al-Qur’an, kaca, sisir, bedak, dhamar kambang, ditempatkan di tengan-tengah, dikelilingi oleh peserta upacara dan si bayi juga diletakkan di tengah-tengah bersamaan dengan benda-benda yang akan dipilihnya. Benda-benda yang akan dipilih tersebut merupakan sebuah gambaran kepribadian si bayi. Sesudah pembacaan do’a si bayi disuruh milih benda-benda yang ada di depannya dan jenang merah tersebut dimakan di sana. Pada waktu makan jenang manis ini saat yang ditunggu oleh anak-anak, kerena setelah jenang manis habis dimakan anak-anak tersebut harus lari dan dipukuli oleh seseorang yang diberi tugas untuk mengejar anak-anak yang sedang makan jenang manis. Jadi anak-anak tersebut dituntut untuk lari jangan sampai kena pukulan. Hal ini merupakan simbol untuk ngusir setan supaya si bayi nanti tidak gampang sakit (saban).

d.      Tata Cara Pelaksanaan Ziarah
            Tata cara ziarah ke Asta Tenggi adalah sebelum masuk ke cungkup makam inti peziarah harus lapor kepada penjaga untuk mengisi daftar tamu sambil memberi uang seikhlasnya. Setelah menerima uang kemudian petugas menanyakan nama, daerah asal dan tujuan serta pekerjaan. Setelah mengisi daftar, para ziarah disuruh langsung ke makam sesepuh yang terletak di sebelah barat kantor penjaga, setelah selesai semua baru menuju ke cungkup yang terakhir yang terletak di sebelah timur kantor penjaga. Pada waktu masuk ke lokasi peziarah harus melepas alas kaki. Untuk mencapai lokasi para peziarah melewati dua gapura dimana pada gapura yang pertama para peziarah melepaskan alas kakinya. Sesampai  di dalam cungkup paziarah mulai berdo’a dan  ada yang sambil menaburkan bunga di pusara makam. Bungatabur  sebagai lambang dari kesucian hati dan jiwa. Diharapkan setelah menabur bunga adalah pembersihan diri manusia (wawancara dengan bapak Sahmawi 9 Juli 2008). Setelah keluar dari cungkup peziarah biasanya mengisi kotak amal yang disediakan oleh penjaga.
            Bagi para peziarah yang memerlukan bunga tabur dapat membelinya di sekitar kompleks makam Asta Tenggi. Sementara itu peziarah  berdo’a agar amalan sang ahli kubur diterima oleh Allah Swt dengan membaca tahlil dan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan ditutup dengan amin.
            Para peziarah yang datang dengan jumlah banyak yaitu nyekar dengan membaca tahlil di setiap cungkup yang dipimpin oleh seorang kiai atau ketua rombongan. Para pengujung yang datang dengan dengan jumlah banyak ini kebanyakan datang dari luar Sumenep yaitu dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan bahkan dari Bali dengan menggunakan kendaraan bus. Sedangkan bagi peziarah yang datang dengan jumlah sedikit yang ingin memenuhi nazdar bahkan mencari rezeki nyekar dengan memperbanyak baca surat yasin, seperti yang terjadi di cungkup Pangeran Jimat dan Bendara Saud. Menurut informan Pangeran Jimat dan Bendara Saud dulu adalah seorang yang ahli baca surat yasin. Menurut juru kunci kalau mau nyekar di cungkup Pangeran Jimat dan Bendara Saud untuk memperbanyak baca surat yasin. Keutamaan surat yasin yaitu “yasin adalah kalbu dari Al Quran. Tak seorangpun yang membacanya dengan niat menginginkan akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang wafat di antaramu.” (Sunan Abu Dawud). “Para ulama biasa berkata bahwa jika Yasin dibaca oleh orang yang tengah maut, Allah akan memudahkan maut itu baginya.” (Tafsiir Ibn Katsir juz 3 halaman 571). “Barangsiapa membaca Surah Yasin pada malam hari dengan niat mencari ridha Allah, dosa-dosanya akan diampuni.” (Muwattha’ Imaam Maalik). Berdasarkan riwayat ini, Allamah Munaawi (rahmatullah ‘alayh) telah menganalisis bahwa barangsiapa hendak membaca Surah Yasin di pagi hari, juga akan diampuni dosanya, Insya Allah. (kitab Faydhul Qadiir, juz 6: 259).
            Sedangkan untuk cungkup Pangeran Panji Pulang Jiwo dan Panembahan Somala, menurut juru kunci apabila nyekar di cungkup ini untuk memperbanyak baca shalawat. Meskipun kedua cungkup memiliki unsur bacaan yang sama, barokah dari kedua cungkup berbeda. Menurut informan cungkup Pangeran Panji Pulang Jiwo dapat memberikan unsur kelelakian seperti minta kekebalan. Untuk cungkup Panembahan Somala dapat memberikan unsur kederajatan. Pada cungkup ini banyak dikunjungi oleh orang-oarang yang belum mendapat kerja dan dari golongan pelajar. Keutamaan dari bacaan shalawat itu sendiri, Fadilah (keutamaan) bershalawat atas nabi sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Allah Swt. dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat atas Nabi Muhammad Saw., seperti terlihat dalam firman-Nya: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi... ." (QS.33:56). Penggalan ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt. melimpahkan rahmat bagi Nabi Muhammad Saw. dan para malaikat memintakan ampunan bagi Nabi Muhammad Saw. Karena itu, pada lanjutan ayat tersebut, Allah Swt. menyuruh orang-orang mukmin supaya bershalawat dan memberi shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.: "...Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."
            Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Din mengatakan bahwa sesungguhnya berlipatgandanya pahala shalawat atas Nabi Saw adalah karena shalawat itu bukan hanya mengandung satu kebaikan saja, melainkan mengandung banyak kebaikan, sebab di dalamnya tercakup :
  1. Pembaharuan iman kepada Allah
  2. Pembaharuan iman kepada Rasul
  3. Pengagungan terhadap Rasul
  4. Dengan inayah Allah, memohon kemuliaan baginya
  5. Pembaharuan iman kepada hari akhir dan berbagai kemuliaan
  6. Dzikrullah
  7. Menyebut orang-orang yang shalih
  8. Menampakkan kasih sayang kepada mereka
  9. Bersungguh-sungguh dan tadharru' dalam berdoa
  10. Pengakuan bahwa seluruh urusan itu berada dalam kekuasaan Allah
            Adapun faedah atau manfaat bershalawat atas Nabi Muhammad Saw. sebagaimana dijelaskan hadis-hadis di atas terdapat 19 perkara menurut perkataan ulama, yakni:
  1. Memperoleh curahan rahmat dan kebajikan dari pada Allah Swt
  2. Menghasilkan kebaikan, meninggikan derajat dan menghapuskan kejahatan
  3. Memperoleh pengakuan kesempurnaan iman, apabila membacanya 100 Kali
  4. Menjauhkan kerugian, penyesalan dan digolongkan ke dalam golongan orang-orang yang shalih;
  5. Mendekatkan diri kepada Allah;
  6. Memperoleh pahala seperti pahala memerdekakan budak;
  7. Menghasilkan syafa'at;
  8. Memperoleh penyertaan dari Malaikat rahmah;
  9. Memperoleh hubungan yang rapat dengan Nabi; Seseorang yang bershalawat dan bersalam kepada Nabi, shalawat dan salamnya itu disampaikan kepada Nabi
  10. Membuka kesempatan berbicara dengan Nabi Saw
  11. Menghilangkan kesusahan, kegundahan dan meluaskan rezeki
  12. Melapangkan dada, apabila seseorang membaca shalawat 100 kali, maka Allah akan melapangkan dadanya dan memberikan penerangan yang sinar seminarnya ke dalam hatinya
  13. Menghapuskan dosa. Apabila seseorang membaca dengan tetap tiga kali setiap hari, maka Allah akan menghapuskan dosanya
  14. Menggantikan shadaqah bagi orang yang tidak sanggup bershadaqah
  15. Melipatgandakan pahala yang diperoleh, apabila seseorang bershalawat di hari Jumat, maka Tuhan akan memberikan kepadanya pahala yang berlipat ganda
  16. Mendekatkan kedudukan kepada Rasulullah di hari qiamat
  17. Menyebabkan do’a bisa diterima oleh Allah
  18. Melepaskan diri dari kebingungan di hari qiamat, apabila seseorang meninggalkan shalawat kepada Nabi, maka ia akan menghadapi kebingungan dan kekacauan di hari mahsyar.
            Tata cara ziarah bagi keturunan dari Sultan Abdurahman berbeda dengan para peziarah biasa. Ada wasiat dari Sultan Abdurahman bagi keturunannya yang mau berziarah ke Asta Tenggi terlebih dahulu menziarahi makam Kanjeng Kiai yaitu mertua dari Sultan Abdurahman, yang terletak di luar kompleks makam yaitu di sebelah timur kompleks makam Asta Tenggi. Hal ini menandakan bahwa Sultan Abdurahman sangat menghormati mertuanya. Ada wasiat apabila sudah selesai dari makam Kanjeng Kiai, ada sebuah larangan bagi keturunan Sultan jangan menziarahi makam Pangeran Panji Pulang Jiwo kerena bagi keturunan Sultan kalau ada yang berziarah ke makam Pangeran Panji Pulang Jiwo akan terkena musibah.

4.3.3        Kepercayaan Terhadap Makam Dipenogoro
            Pada akhir tahun 1980-an Asta Tenggi ini ramai dikunjungi orang karena tersiarnya kabar bahwa makam Pangeran Dipenogoro yang asli ternyata di Asta Tenggi. Menurut kepercayaan bahwa makam Pangeran Dipenogoro yang ada di Makasar adalah Turkiyo Dikometuri, panglima perang yang menggantikan posisi Dipenogoro. Sultan Abdurahman yang masih terhitung besan dengan Pangeran Dipenogoro melakukan sebuah siasat, Dipenogoro yang akan diasingkan ke Makasar, diamankan dan dibawa ke Sumenep, sejak saat itu Dipenogoro hidup di Sumenep di bawah perlindungan keraton.
            Asta Pangeran Dipenogoro terletak lima meter di sebelah utara kompleks makam Asta Tenggi tepat di belakang tembok pagar. Menurut informan, 20 meter sebelah utara terdapat sumur tempat kuda Pangeran Dipenogoro. Tidak jauh dari sebelah timur sumur itu tepat di sebelah utara kuburan Dipenogoro terdapat kuburan kuda Dipenogoro. Di kuburan Dipenogoro sering terdapat sesajen dan uang recehan, setiap pagi hari yaitu pada waktu menjelang matahari terbit banyak anak menunggu untuk mengambil uang sesajen, berharap bahwa dengan uang ini sekolahnya tidak menemui hambatan. Mereka mengambil uang receh untuk membeli kembang, yang setiap tiga hari diserahkan kembali ke makam Pangeran Dipenogoro. Dengan demikian anak-anak yang mengambil uang tersebut mengharap tambahan berkah. Tiap tanggal 15 bulan Jawa, pada waktu terang bulan, banyak orang berkumpul di kuburan Dipenogoro untuk melakukan selamatan dan ada yang melakukan tirakat. Mereka ingin memperoleh keris sakti dari Dipenogoro dan ada yang ingin mendapat sorban yang dipercaya membuat pemakainya kebal senjata.
            Menurut catatan sejarah Sumenep bahwa Pangeran Dipenogoro pernah membantu Sultan Abdurahman guna memasyarakatkan politik ajala sotra. Dalam rangka memasyarakatkan politik ajala sotra pada waktu itu, Sultan Abdurahman menciptakan busana adat pria sehari-hari dengan diberi nama Ganalan atau Billa Banten. Perlengkapan dari busana adat itu terdiri dari :
a)      Ikat kepala yang diberi nama : Gantong Re’-kere’
      Gantong = gantung, re’-kere’ = anak anjing yang baru lahir, bulu kulitnya adalah putih kemerah-merahan, mirip dengan kulit dan rambut orang Belanda. Jadi re’-kere’ diumpamakan orang Belanda. Gantong re’-kere’ mempunyai arti gantung Belanda
b)      Kain untuk baju dan sarung adalah kain wanita yang bermotif kembang, sedang sarung adalah sarung wanita yang bermotif kembang juga (sarung pacenan). Ini mengandung maksud bahwa politik ajala sotra ini sangat halus dan berhati-hati seperti kaum wanita.
c)      Memakai abinan keris, yang mengandung maksud, bahwa politik ajala sotra ini, sangat tajam dan ampuh.
d)     Memakai ikat pinggang dari kain, berwarna :
1.      Merah dan kuning diberi nama: kapodhang nyocco’ sare, mempunyai arti Raja Berseri,
2.      Merah dan hijau daun, diberi nama: kapodhang nyocco’ daun, mempunyai arti Raja Murka.
e)      Memakai selop, dan bagian muka tertutup, yang mengandung maksud bahwa perjalanan politik ajala sotra ini, kalau dilaksanakan dengan halus dan hati-hati, akan berjalan dengan lancar dan selamat, dengan tidak mendapat rintangan dan hambatan apapun.
            Menurut cerita bahwa, Kapodhang nyocco’ sare dan kapodha nyocco’ daun, oleh Pangeran Dipenogoro dijadikan salah satu nama dari kidung-kidung yang diciptakannya. Sedangkan oleh Sultan Abdurahman dijadikan nama pada ikat pinggang busana adat Ganalan (Billa Banten).
            Dalam strategi, taktik dan siasat dalam politik ajala sotra, Sultan Abdurahman menjelaskan bahwa akan mengambil madu, janganlah diambil semuanya, karena lebahnya akan ngamuk. Ambillah sedikit demi sedikit, sampai seluruh madu dapat diperoleh.
            Menurut informan bukan hal yang mudah bagi Belanda untuk menangkap dan membunuh Dipenogoro, tokoh yang dikenal sebagai ahli siasat perang dan seorang yang terkenal sakti dan bisa berada di dua tempat dalam waktu yang bersamaan. Maka dari itu masyarakat bertambah yakin bahwa makam Pangeran Dipenogoro berada di Asta Tenggi.
            Bukti-bukti di atas juga diperkuat dengan pesan dari  Sultan Abdurahman dalam prasasti di Asta Tenggi yang meberi wasiat agar menziarahi makam yang berada di belakang tembok Asta Tenggi. Prasati tersebut dijadikan sebagai nama kelompok penjaga Asta Tenggi dengan maksud agar mudah diingat. Isi dari prasasti tersebut antara lain :
1.  Kaji Sengnga          : artinya, senga’ (awas ketahui)
2.  Kaji Buddi              : artinya, budi (di belakang)
3.  kaji Nangger          : artinya, ada pohon nangger
4.  Kaji Makam           : artinya, di dekat pohon nangger ada makam
5.  Kaji Jaja Bangsa     : artinya, yang membela kejayaan bangsa
6.  Kaji Jaja Abdur      : artinya, yang membela kejayaan agama
6.  Kaji Sekar              : artinya, ziarahi
7.  Kaji Langgar          : artinya, bawa ke langgar (ke kiai) untuk dido’akan
            Kalau nama tersebut disimpulkan, maka berbunyi : “sēnga’ sopaja ēkaonēngē, ja’ ēbudina Asta Tēnggi panēka, bada bungkana Nangger, ēseddi’na bungkana Nangger bada makam sē abēlla kejayaan bangsa tor abēlla kejayaan agama, ngarep sopaja ēsekkarē (ēziarahi) mon ta’ sempat aziarah, kēba ka kiai soro duawa’agi. Artinya awas supaya diketahui bahwa di belakang  Asta Tenggi ini, ada pohon nangger dan di dekatnya ada makam, yang membela kejayaan bangsa dan kejayaan agama, harap supaya diziarahi. Bilamana tidak sempat berziarah, supaya datang ke langgar, minta bantuan kepada kiai (ulama) untuk dido’akan.

4.3.4        Karakteristik Bangunan Asta Tenggi
            Objek wisata di Kabupaten Sumenep memiliki banyak peninggalan sejarah yang berupa bangunan dengan struktur dan karakteristik yang unik. Salah satu syarat kebudayaan masyarakat dapat menjadi objek wisata harus memiliki keunikan tersendiri. Dalam dunia kebudayaan, sifat tiru meniru bukanlah hal yang tidak mungkin, akan tetapi merupakan sifat dari masyarakat dimanapun juga. Pengaruh kebudayaan Cina terlihat jelas pada seni bangunan di Kabupaten Sumenep.
            Objek wisata di Kabupaten Sumenep berupa bangunan yang memiliki struktur dan karakteristik tersendiri antara lain :



a.      Asta Tenggi
            Makam Asta Tenggi dan sekelilingnya memakai tembok pagar dan gapura yang unik tanpa menggunakan semen perekat. Teknik pemasangannya dengan cara menggosokkan batu sama batu kemudian serbuknya dijadikan perekat yang dicampur dengan air legen. Pintu gerbang masuk berbentuk gapura, semuanya terdapat 5 (lima) gapura untuk masuk makam, di atas gapura masuk ke makam Panembahan Sumolo terdapat 5 (lima) pundi yang melambangkan rukun Islam dan terdapat tangga untuk masuk ke dalam. Di depan tangga terdapat prasasti dengan tulisan bahasa Arab dan tulisan Jawa yang dibuat oleh Pangeran Aria Jakfar Sadik Suryaamidjaya. Terjemahan prasasti tersebut sebagai berikut :
            “mengingatkan padaku, dari adanya bangunan pintu ini kepada orang yang menyempurnakan dan membangunnya, yang mengharapkan dari orang yang menyempurnakan dan meneruskan, maka barang siapa yang ingin datang (berziarah) kepada yang memiliki kebun/pemilik asta ini, maka lupa ia tidak melihat prasasti ini pertama kali. Maka untuk kedua kalinya supaya berfikir dalam semua arti/maknanya niscaya akan mengetahui kepada yang membangun dan yang menyempurnakan dan meneruskan. Maka kalau ada yang faham atau mengerti bahasa Arab, maka ini tulisan arabnya. (prasasti). Namun jika tidak mengerti bahasa Arab, dipersilahkan melihat tulisan (prasasti) yang di sebelah kiri. Kiranya jarang orang yang mengerti terhadap maknanya sebab ditulis dengan Jawa (kuno) yang diterangkan saya dari semua maknanya prasasti ini mudah-mudahan Allah Swt, memberi ampunan kepada yang menyalin prasasti ini yang menulis juga yang membantunya dan yang berikan petunjuk bagi orang-orang (yang berziarah pada jalan yang benar). Adapun orang yang membangun pintu ini, yaitu orang yang pegang teguh kepada agama Allah, Sultan Pakunataningrat Adipati di Negeri Sumenep. Dan adanya beliau berpulang kerahmatullah (wafat) sebelum pintu ini selesai sempurna. Adapun setelah beliau wafat, maka yang melanjutkan atau yang menyempurnakan ialah putranya (bernama: Panembahan Natakusuma III) salah satu Adipati di Negeri ini, dan penyelesaian pintu ini serta diperbagus dengan suatu yang pantas baginya yakni: dengan kapur putih dan tanah rendah, dan menulisnya pada kedua sisinya semata-mata mengharap agar menyandang bagi yang melihat atau yang memandang dan untuk menutupi (melindungi) orang yang berziarah dan mau mengamankan dari orang dhalim terdapat peziarah berdo’a. Maka bagi orang yang berziarah pada kuburan ini agar bersopan santun (tatakrama) menurut agama Islam (syara’) sepertinya bersopan santun kepada pemilik Asta Tenggi ini sewaktu masih hidup dan selesai pintu ini pada tahun 1274 Hijriyah”.
            Keunikan bangunan kompleks makam Asta Tenggi ini merupakan perpaduan arsitektur Jawa dan Cina. Lantai bangunan Asta Tenggi sangat rendah dari tanah sekitarnya yaitu sekitar 10 cm dari muka tanah. Adapun konstruksi bangunan cungkup makam memilih konstruksi dari kayu jati dengan langit-langit dari papan kayu jati. Atapnya berbentuk limasan dan sinom (sudut rendah) jenis apitan (panjang bersambung) dengan penutup atas dari genteng yang selalu memiliki akhiran bubungan dari plesteran yang mencuat ke atas. Bentuk terakhir inilah yang mengingatkan pada bentuk atap rumah orang Cina, baik di Indonesia maupun di negeri Cina. Model arsitektur seperti ini yang diintrodusir kesenian Cina pada bangunan ini. Sedangkan bangunan dengan atap limas merupakan ciri khas orang Jawa namun ukiran-ukiran kental bernuansa Cina dan hiasan kaligrafi cerminan dari pengaruh Timur Tengah, sebuah asimilasi budaya yang menggambarkan kearifan masa lalu.
            Pada kumpulan makam tertua, terletak di belakang sendiri memiliki sebuah gebyok (latar di belakang makam) berukir yang sangat besar. Ukirannya sedemikian lebar sehingga dapat dipakai atau menutup atau melatarbelakangi sisi sebuah pendopo zaman dulu. Menurut cerita, gebyok berukir ini dulunya adalah milik raja yang pernah memerintah di Sumenep yang dipakai pada masa hidupnya. Ukiran kayu ini dibawa dan dipasang di ruang makam pemilik berikut seluruh pendoponya yang terdiri dari soko guru dan langit-langitnya. Penggantinya tentunya membuat pendopo dan gebyok ukiran kayu baru lagi.
            Pada makam Pangeran Panji Pulang Jiwo juga dihiasi dengan gebyok ukiran kayu sebagai latarbelakangnya. Pada ragam hiasnya terasa sekali pengaruh Cina seperti ragam hias burung, berupa burung phoenix (dalam budaya Cina burung bersifat  mistik dan dianggap raja segala burung yang diartikan keberuntungan dan kehangatan) yang selalu ditempatkan di tengah-tengah, menjadi pusatnya. Panil-panil ukiran kayunya berbentuk persegi empat dengan bingkai-bingkai persegi biasa. Antara panil dengan bingkainya dibatasi  oleh ragam hias kurung yang ujung-ujungnya saling memotong dengan melengkung ke dalam. Ragam hiasnya berupa pohon  dan binatang yang digambarkan lebih realistis. Dapat dilihat pohon teratai yang tumbuh di atas air menjulang ke atas ke luar dari air beserta bunga-bunganya yang dikerumuni oleh sekawanan burung kecil-kecil beterbangan dengan riang gembira. Pada panil yang lain, sebatang pohon keras dengan daun dan buahnya dihinggapi beberapa ekor ayam hutan. Adanya burung phoenix dan ragam hias burung menandakan kuatnya pengaruh Cina pada ukiran kayu ini. Begitu pula warnanya yang coklat kemerahan dan emas pada gambar-gambarnya. Dasar dari bidang ukiran ini diberi warna merah, biru sehingga membuat warna emas ukirannya sendiri jadi sangat menonjol. Selain itu seni ukir di desa Karduluk juga banyak yang dipengaruhi oleh seni ukir Cina, seperti tempat tidur yang berukiran burung kirin dan naga (dalam budaya Cina naga dianggap dewa pelindung yang bisa memberikan rezeki, kekuatan, dan kesuburan) bahkan batik Madurapun (di desa Pakandangan) ada yang bernuansa Cina yaitu dengan adanya hiasan burung kirin (hasil wawancara dengan bapak Edi Setiawan, SH, 2 Juli 2008).
            Sedangkan nisan yang terdapat di Asta Tenggi memiliki bentuk nisan yang tergolong ke dalam nisan yang bertipe Demak-Troloyo. Seluruh makam kuna yang ada di luar cungkup Pangeran Panji Pulang Jiwo, Pangeran Jimat dan Bendara Saud terbuat dari batu putih, jiratnya pada umumnya tersusun dua tingkat dengan jarak antara batu penyusun terdapat pelipit dan semacam tanah dan pasir hitam. Pada nisan-nisannya terdapat kelopak kaki nisan, bermotif  hias tumpal dari kaki sampai badan nisan, kepala nisan berbentuk kurawal dengan puncak meruncing untuk makam laki-laki dan puncak datar untuk makam perempuan.
            Pada cungkup Pangeran Panji Pulang jiwo, jirat dan nisannya rendah, terdiri dari bentuk persegi panjang bersusun tiga yang makin ke atas semakin kecil. Nisannya bermotif hias tumpal dan puncaknya berbentuk kurawal dengan ujung lancip makam laki-laki dan yang agak datar untuk perempuan.
            Cungkup Pangeran Jimat, jirat dan nisannya mempunyai bentuk yang sama, nisan maupun jiratnya tinggi makin ke atas makin kecil, sedangkan nisan-nisannya berpuncak kurawal. Pada bagian bawah nisannya terdapat semacam kelopak. Nisannya tidak memuat inskripsi, tetapi hanya bermotif tupal. Nisan pangeran jimat mempunyai bentuk lancip, sedangkan makam kanan kirinya yaitu makam Ratu Ari dan makam Ratu Ayu Wironegoro datar bagian atasnya. Makam yang tidak dikenal identitasnya jiratnya rendah, nisannya berpucuk kurawal dan ujungnya lancip.
            Pada cungkup Bendara Saud bentuk jiratnya bersusun lima, nisannya berujung lancip, sedangkan nisan-nisan untuk perempuan lebih datar. Pada nisan Bendara Saud tidak terdapat inskrinsip kecuali nisan berbentuk tumpal. Makam lainnya yang terdapat dalam cungkup ini lebih sederhana, jumlahnya 26 buah makam. Jiratnya pendek berbentuk persegi panjang susun tiga, semakin ke atas semakin lancip.
            Pada cungkup Panembahan Natakusuma, bahan penyusun makam adalah batu kuarsa dan batu padas, jiratnya berbentuk persegi panjang dengan rata-rata berukuran 3 x 1,5 m, bersusun empat atau lima, makin ke atas makin kecil dan bahan dari batu kuarsa, nisannya berpuncak kurawal dengan bagian badan nisan agak melengkung, pada bagian bawah terdapat hiasan semacam kelopak. Badan dan puncak nisan tebal dan bagian tengahnya lebar sehingga membentuk semacam berlapis. Kaki nisannya berbentuk seperti susunan pelipit terdiri dari dua tingkat yang bagian dasarnya lebih besar. Hiasannya antara lain berbentuk medalion, tumpal dan garis-garis simentris. Selain itu pada nisan ini terdapat inskrip berhuruf dan berbahasa Arab yang dipahat seperti hiasan Troloyo.

b.      Gua Jeruh
            Gua jeruh terletak didataran tinggi yang berlokasi di luar kawasan Asta Tenggi. Gua jeruk ini merupakan tempat pertapaan Sultan Abdurahman. Beliau bertapa untuk mencari jalan ketenangan dan kebahagiaan yang haqiqi. Gua jeruh ini merupakan gua yang besar dan dalam yang tidak terlihat karena ditutupi pepohonan dan batu-batu besar sehingga diberi nama gua jeruh yang dalam bahasa Jawa artinya gua dalam. Bagi yang pernah ke sana akan melihat secara nyata keadaan di dalamnya yang hanya diselimuti oleh kegelapan dan kesunyian yang dikelilingi oleh batu-batu besar yang tinggi, kadang kala meneteska air ke bawah dengan pelan-pelan bagaikan tetesan air mata yang jatuh tak henti-hentinya.

4.4          Usaha Masyarakat dan Pemerintah Menjadikan Asta Tenggi Sebagai Objek Wisata Ziarah
Asta Tenggi adalah makam para leluhur Sumenep yang tergolong para raja-raja, anak cucu dan kerabatnya. Masyarakat dan pemerintah malakukan pelestarian terhadap keberadaan Asta Tenggi. Hal ini juga untuk memenuhi wasiat dari Panembahan Sumala yang tedapat dalam prasasti yaitu membenahi, memperbaiki dan memperindah Asta Tenggi dan untuk melindungi orang yang berziarah dan mau mengamankan dari orang dhalim terhadap peziarah yang mau berdo’a. Pada masa pembangunan ini pemerintah dengan didukung oleh masyarakat berupaya untuk  mengembangkan dan melestarikan Asta Tenggi yang nantinya dapat dijadikan sebagai objek wisata ziarah. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumenep beserta masyarakat dalam upaya memgembangkan dan melestarikan  Asta Tenggi sebagai objek wisata ziarah.

4.4.1  Usaha Masyarakat Kebunagung Dalam Melestarikan Asta Tenggi
            Pada dasarnya benda-benda cagar budaya yang tersebar di seluruh nusantara dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata. Apabila hal tersebut dilakukan, maka sumberdaya pariwisata menjadi amat beraneka ragam. Hal demikian mengakibatkan banyaknya pilihan objek wisata yang dapat dikunjungi oleh para wisatawan. Apabila berbicara tentang nilai benda cagar budaya, pada hakekatnya seluruh benda arkeologi tidak ternilai harganya, sebab hanya sekali saja dibuat pada suatu peristiwa masa lalu, serta memliki sifat tidak dapat diulang. Itulah sebabnya benda cagar budaya harus dilestarikan sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Benda cagar budaya setidaknya dapat dimanfaatkan dalam tiga segi, yaitu nilai idiologis, nilai akademis dan nilai ekonomis (Mundardjito dalam Yoeti, 2006:318)
            Asta Tenggi yang merupakan benda cagar budaya sejak dahulu kala sampai saat ini tetap dilestarikan keberadaannya oleh penjaga Asta Tenggi. Penjaga Asta Tenggi yang terbentuk dalam yayasan yang dinamakan Yayasan Penjaga Asta Tenggiyang bertugas menjaga, merawat, membersihkan dan menjaga Asta Tenggi telah dibentuk sejak pememerintahan Ratu Tirtonegoro.
            Cungkup yang ada pada saat itu hanya ada dua cungkup yaitu cungkup Pangeran Panji Pulang Jiwo dan pangeran Jimat sehingga jumlah penjaga Asta Tenggi pada jaman itu tidak sebanyak seprti sekarang kemudian pada jaman Panembahan Somala penjagaan Asta Tenggi dibagi menjadi 8 (delapan) kelompok seperti sekarang yang jumlahnya mencapai 60 orang.
            Pada saat pemerintahan Panembahan Somala ini telah dilakukan penyempurnaan pada sistem pengolahannya yaitu setiap penjaga Asta Tenggi diberi upah berupa pemberian tanah (tidak berupa gaji) yang kemudian dikenal dengan istilah tanah cato penjaga Asta tenggi. Penataan penjaga Asta Tenggi disempurnakan lagi pada jaman Sultan Abdurahman yaitu dibagi menjadi 8 (delapan) kelompok yang dipimpin oleh Kepala Penjaga Asta Tenggi. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang loloran dan wakolnya disebut Kabejen. Berikut ini nama 8 (delapan) loloran (kelompok) :
  1. Ji Makam
  2. Ji Jaya Abdur
  3. Ji Sekaran
  4. Ji Langger
  5. Ji Senga
  6. Ji Jaya Bangsa
  7. Ji Budhi
  8. Ji Nangger
Usaha YAPASTI (Yayasan Penjaga Asta Tenggi) untuk mempertahankan dan melestariakan Asta Tenggi  agar tidak punah, maka usaha tersebut antara lain:
  1. Tetap konsisten terhadap tugas atau tanggung jawab selaku penjaga Asta Tenggi yaitu membersihkan, memelihara, merawat dan menjaga keamanan Asta Tenggi dan sekitarnya serta mengadakan kegiatan-kegiatan seremonial religius (tahlil akbar).
  2. Pengadaan sarana parkir yang lebih luas, baik sepeda motor maupun mobil agar pengunjung tidak parkir di sembarangan tempat sekaligus memberi rasa aman, karena saat ini lahan parkir masih sempit sehingga pada saat masyarakat melakukan ziarah selalu terganggu bahkan masyarakat selalu khawatir karena sepeda atau mobil yang diparkir sembarangan akan hilang/dicuri mengingat peziarah yang berkunjung ke Asta Tenggi pada hari-hari libur meningkat banyak sepeda mator yang diparkir di sembarang tempat. Apalagi melihat konteks nyata sekarang ini rawan pencurian khususnya pencurian motor karena tuntutan kebutuhan ekonomi masyarakat yang cukup tinggi.
  3. Melakukan pemeliharaan terhadap bangunan yang sudah rusak agar diperbaiki tetapi tidak merubah aslinya kerena bangunan-bangunan di Asta Tenggi merupakan bangunan kuna.
d.      Pengadaan MCK (Mandi Cuci Kakus), agar masyarakat lebih nyaman karena lengkapnya sarana yang tersedia.
e.       Penambahan sarana penerangan, karena jalan menuju Asta Tenggi belum ada penerangan. Sangat memprihatinkan karena tempat ini digunakan untuk mendekatkan diri kepada yang Kuasa malah dijadikan tempat berpacaran oleh para pemuda. Karena letak Asta tenggi dibukit dan jauh dari keramaian pada setiap malam minggu biasanya digunakan tempat pacaran.

4.4.2       Usaha Pemerintah Kabupaten Sumenep Menjadikan Asta Tenggi Sebagai Objek Wisata Ziarah Di Kabupaten Sumenep
Pemerintah Kabupaten Sumenep terus meningkatkan  pembangunan di segala bidang untuk mewujudkan kesejahteraan yang dilandasi  dengan nilai-nilai agama dan budaya. Hal ini mendukung  terciptanya Kabupaten Sumenep sebagai salah satu tujuan wisata di Jawa Timur. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk menyerahkan sebagian  urusan pemerintah pusat dalam pariwisata  kepada Daerah Tingkat I berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 14 tahun 1979 dalam pasal 11 yang menyatakan  bahwa pemerintah Daerah Tingkat I dapat menyerahkan lebih lanjut urusan bidang kepariwisataan  kepada Daerah Tingkat II (Suwantoro, 1997:41).
Pengembangan kepariwisataan merupakan kegiatan yang strategis jika ditinjau dari segi pengembangan ekonomi dan sosial budaya. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Sumenep diarahkan pada kebijakan perkembangan dunia pariwisata, seni dan budaya dalam rangka pelestarian dan memperkenalkan budaya asli daerah ke dunia luar dengan tetap mempertahankan nilai-nilai agama dan budaya sebagai jati diri kepribadian  masyarakat Sumenep. Sejak diberlakukannnya otonomi daerah,  Dinas Pariwisata Daerah Tingkat II Sumenep berdasarkan peraturan daerah Nomor 24 tahun 2000 mengenai pembentukan organisasi perangkat daerah telah berubah nama menjadi Kantor Pariwisata dan Kebudayaan kabupaten Sumenep. Hal ini berarti bahwa  masalah pariwisata yang terkait dengan masalah kebudayaan harus dikelola dan dikembangkan  secara bersama-sama dengan sebaik mungkin dan ini semua menjadi tanggung jawab Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep sesuai dengan Keputusan Bupati Nomor 01 tahun 2001 (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2001:1).
Salah satu bentuk dari Kantor Pariwisata dan kebudayaan mengembangkan pariwisata lebih difokuskan pada pariwisata budaya. Pengembangan pariwisata budaya dengan tujuan untuk melestarikan kebudayaan dan keperibadian bangsa. Dasar pemikirannya adalah bila suatu negara memiliki keindahan alam yang sama, fasilitas sarana dan prasarana yang sama pula, pantai yang bersih, udara yang segar, tempat-tempat berekreasi yang lengkap, maka untuk memenangkan persaingan yang tajam, Indonesia haruslah menciptakan suatu nilai plus bagi wisatawan yang hendak berkunjung ke Indonesia. Nilai plus itu tidak lain adalah seni budaya tradisional yang banyak dijumpai. Agar nilai plus itu dapat dikembangkan dengan baik, maka jalan satu-satunya adalah membenahi seni budaya itu sendiri (Yoeti, 2006:156). Salah satu tradisi budaya yang ada di Kabupaten Sumenep yaitu tradisi nyadar yang banyak menawarkan seni tradisional yang menjadi unik. Keterlibatan pemerintah dalam melestarikan dan mengembangkan selain untuk kepentingan ekonomi sebagai suatu industri yang berusaha untuk meningkatkan pendapatan daerah, khususnya pendapatan bagi negara dan masyarakat pada umumnya. Sektor pariwisata  juga telah terbukti menyerap tenaga kerja, membuka lapangan usaha baru dan meningkatkan pendapatan bagi masyarakat setempat serta memperkenalkan budaya masyarakat dan keindahan alam Indonesia dan memupuk rasa cinta tanah air serta persatuan dan kesatuan dari generasi muda. Pemerintah daerah juga mendorong masyarakat  agar berpartisipasi  melalui pencanangan program “sapta pesona” (aman, nyaman, tertip, bersih, sejuk, indah dan ramah). Dengan program sapta pesona tersebut diharapkan masyarakat  tidak mengganggu wisatawan, tidak merusak lingkungan dan merusak objek wisata sehingga memberikan pelayanan yang baik bagi wisatawan.
Usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumenep dalam rangka pengembangan dan pengemasan pariwisata pada kompleks makam Asta Tenggi dengan cara mengadakan promosi seperti melakukan penyebaran  informasi melalui media cetak yang dilakukan dengan cara penyebaran brosur-brosur kepariwisataan baik di Sumenep maupun di kota-kota lain seperti Malang, Surabaya, Banyuwagi dan Jakarta. Sedangkan penyebaran informasi dengan elektronika dilakukan dengan melalui internet dengan  Home Page  WWW. Eastjava. Com/Tourism/Sumenep. Selain itu promosi wisata juga dilakukan dengan cara pemasangan peta wisata Kabupaten Sumenep dan pemasangan foto objek wisata. Adanya penyebaran brosur pariwisata juga biro perjalanan wisata tentang Asta Tenggi bertujuan agar dapat menarik wisatawan terutama wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Sumenep (wawancara dengan Bapak Kurniadi, tanggal 8 Februari 2007).
Dalam pengembangan dan pelestarian pariwisata yang ada di kabupaten Sumenep baik itu wisata alam, sejarah dan budaya, pemerintah daerah juga mengadakan pelaksanaan pembinaan kelompok sadar wisata di empat kecamatan yaitu Kecamatan Sumenep, kecamatan Dasuk, kecamatan Kalianget, kecamatan Saronggi dan kecamatan Batang-batang. Pembinaan ini diberikan kepada kelompok sadar wisata, calon pramuwisata, pedagang kaki lima, pengusaha hotel, rumah makan dan salon. Usaha ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang arti penting pariwisata. (wawancara dengan Bapak Ahmad Ingkiat, tanggal 8 Februari 2007).
Menurut Yoeti (2006:166-168), ada beberapa hal yang dapat menjadikan wisata budaya dapat dikenal oleh masyarakat keseluruhan (wisatawan), yaitu:
a.       Tersedianya pusat-pusat informasi bagi peziarah, tujuannya agar memperoleh penjelasan tentang sesuatu objek wisata budaya yang hendak dilengkapi dengan Leaflests atau Brosur yang menerangkan objek-objek secara terperinci, karena kompleks pemakaman sebagai tempat ziarah dan tempat pelaksanaan nyadar sehingga diperlukan penjelasan. Menurut Djulianto (dalam Yoeti, 2006:167) surat kabar, dan brosur yang sangat penting, sebab dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, harganya murah dan dapat dibeli oleh masyarakat banyak. Kemudian disarankan pula kekurangan pembina, pengelola dan tenaga pramuwisata khususnya objek-objek wisata budaya. Pusat informasi bagi peziarah di komplek pemakaman adalah juru kunci dan pelaku adat sehingga juru kunci dan pelaku adat ini harus paham mengenai kompleks makam, sejarah dan pelaksanaan upacara sebagai pusat informasi bagi masyarakat dan sebagai juru penerang yang baik, sehingga para wisatawan dapat menghayati betapa pentingnya memelihara hasil budaya
b.      Biro perjalanan hendaknya dapat memberikan penjelasan kepada wisatawan tentang segala sesuatu seperti sejarah, latar belakang atau kepercayaan masyarakat.
Untuk itu warisan budaya yang dimiliki dapat dijadikan sebagai objek keingintahuan, sehingga bisa banyak menarik kalangan. Mulai masyarakat yang sekedar mau menikmati atau mengagumi keindahannya atau ingin memperoleh gambaran tentang kemegahan yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita dimasa lampau. Fungsi yang melekat pada warisan budaya,  membuatnya harus terbuka untuk dikunjungi  dan dilihat oleh banyak orang, tetapi dilain pihak sebagai akibat dari fungsinya tersebut kita harus pula melestarikan dengan cara seksama agar generasi berikutnya  dapat melihat kesaksiannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak yang sangat berperan untuk mengembangkan potensi yang ada di daerah ini adalah Pemerintah Kabupaten Sumenep, selain itu harus didukung investor dan masyarakat. Dengan demikian, maka besar harapan pada Pemerintah Kabupaten Sumenep agar dapat mewujudkan sarana dan prasarana yang penulis sampaikan di atas demi tercapainya pengembangan potensi wisata alternatif di Kabupaten Sumenep.


BAB 5. PENUTUP
5.1    KESIMPULAN
            Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulkan sebagai berikut :
            Asta Tenggi adalah makam para raja  dan keturunan beserta kerabatnya yang merupakan tempat wisata ziarah yang dapat dikembangkan sebagai tujuan wisata di Kabupaten Sumenep dan juga sebagai suatu bentuk penghormatan Bhupa’, Bhabbu’, Guru, Ratoh. Sebuah norma yang harus terus diwariskan kepada anak cucu yaitu penghormatan kepada orang tua, guru dan raja.
            Keunikan yang terdapat dalam Asta Tenggi ini Asta Tenggi terletak di bukit. Keberadaan Asta Tenggi  terdiri dari 4 (empat) cungkup yang terdiri dari 2 (dua) bagian, dimana dari 4 (empat) cungkup tersebut mempunyai berkah dan karomah yang berbeda-beda. Dalam mengungkapkan rasa syukur para peziarah mengadakan selamatan dan uapacara matoron ka tana di Asta Tenggi. Pelaksanaan selamatan dan upacara matoron ka tana di Asta Tenggi memiliki makna simbolik, masing-masing pada setiap perlengkapan dan peralatan yang digunakan untuk selamatan dan upacara matoron ka tana. Bentuk ornamen bangunan dan makam Asta Tenggi menggambarkan simbol-simbol kebudayaan Jawa dan Cina. Pada akhir tahun 1980-an Asta Tenggi ramai dikunjungi orang karena tersiarnya kabar bahwa makam Pangeran Dipenogoro yang asli ternyata ada di Asta Tenggi. Menurut kepercayaan masyarakat Sumenep bahwa makam Pangeran Dipenogoro yang ada di Makasar adalah Turkiyo Dikometuri.
            Upaya pelestarian Asta Tenggi dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya yang dilakukan pemerintah ditujukan dengan kegiatan promosi yang dilakukan oleh kantor Pariwisata dan Budaya Kabupaten Sumenep. Upaya masyarakat diwujudkan dengan mejaga kelestarian Asta Tenggi yang terbentuk dalam Yayasan yang dinamakan Yayasan Penjaga Asta Tenggi (YAPASI) yang bertugas menjaga, merawat, membersihkan dan menjaga Asta Tenggi yang telah dibentuk sejak pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Berbagai upaya pelestarian tersebut dapat menjadikan Asta Tenggi sebagai salah satu wisata ziarah di Kabupaten Sumenep.

5.2    SARAN
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian, penulis menyajikan beberapa saran yaitu :
1.      Bagi masyarakat Desa Kebunagung, hendaknya Asta Tenggi harus tetap ada dan dilestarikan keberadaannya karena hal ini dilakukan untuk mengenang jasa leluhur Kabupaten Sumenep semasa hidup dan sebagai peringatan bagi umat manusia bahwa kelak kita juga akan meninggal dunia dan perlu tingkatkannya kesadaran untuk tetap melestarikan budaya mereka, agar budaya yang ada tidak lenyap begitu saja, dengan catatatan sepanjang budaya mempunyai nilai positif serta tidak merugikan budaya kita sendiri
2.      Bagi peziarah yang datang ke Asta Tenggi, tradisi ini harus sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh masyarakat dan jangan sampai menjadi musyrik, sehingga harus sesuai dengan syariat agama dan jangan menjadikan makam sebagai tempat untuk meminta.
3.      Bagi keturunan raja-raja Sumenep hendaknya lebih berperan aktif dalam melestarikan Asta Tenggi dengan mengadakan kegiatan keagamaan yang melibatkan masyarakat umum untuk mengingat jasa para raja Sumenep
4.      Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep agar segera mengambil langkah-langkah yang konkret untuk menyelamatkan benda cagar budaya yang ada di Desa Kebunagung untuk dijadikan  sebagai objek wisata spritual, sehingga dapat dilestarikan sebagai peninggalan sejarah lokal dan menjadi salah satu perbendaharaan kepustakaan Kabupaten Sumenep.

DAFTAR PUSTAKA



Adminarja, Kusnaka. 1976. Antropologi  Sosial Dalam Pembangunan. Bandung: Tarsito.

Al-albani.1991. Tuntunan Lengkap Mengurus Jenasah. Jakarta: Gema Insani Press.

Anike, Yuyun. 2000. Eksistensi dan Potensi Upacara Sakral Seblang Dalam Menunjang Obyek Wisata Budaya Di Kabupaten Dati II  Banyuwangi Jawa Timur. Skripsi, (tidak dipublikasikan).Yogyakarta: Politeknik.

Chaedwic, dkk. 1991. Metode pengetahuan Ilmu Pengetahuan Sosial. Semarang: IKIP Semarang.

Budiyono, dkk. 1997. Akulturasi Budaya di Pantai Timur Pulau Madura. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dewi, Sosilowati. 2005. Potensi Kraton Sumenep Sebagai Objek Pariwisata Sejarah Di Kabupaten Sumenep. Skripsi, (tidak dipublikasikan), Jember: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.

Gottschalk, L. 1983. Mengerti Sejarah.  Jakarta: UI Press.

Hadari, Nawawi dan Martini Mimi. 1993. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Imam, Syamsul, dkk. 1986. Sepintas Kilas Adat Budaya Sumenep Sebagai Aspek Bangunan Nyata. Sumenep: Matahari Offset.

de Jonge, Huub. 1989. Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi. Jakarta: Rajawali Press.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Liakip. 1990. Masalah Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Pariwisata di Kabupaten Sumenep. Jember: Departemen Pendidik dan Kebudayaan RI UNEJ.

Koentjaraningrat (Ed.). 1997. Metode-Metode Penelitian  Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Kuntowijoyo. 1993. Metodelogi Sejarah. Yogyakarta : Tirta Wacana.

Mardalis.1989. Metode Penelitian suatu pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara

Miskawi. 2007. Tradisi Nyadar Sebagai Wisata Budaya Di Kabupaten Sumenep. Skripsi, (tidak dipublikasikan), Jember: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.

Notosusanto, N. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI-Dephankam.

O’Dea, Thomas F. 1996. Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka.

Rato, D. 2003. Buju’ dan Asta :Persepsi Masyarakat Madura Sumenep Terhadap Kuburan Keramat. Dalam  Sugianto (Ed): Kepercayaan, Magi, dan Tradisi Dalam Masyarakat Madura. Jember: PT Tapal Kuda.
Ruslan & Nugroho, A.S. 2007. Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa. Yogyakarta: Pustaka Timur.

Soegianto. 1990 Ensiklopedi Madura II. Laporan penelitian (tidak dipublikasikan). Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Uka Tjandrasasmita (ed).1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka

Widya, I.G.1988. Pengantar Ilmu Sejarah. Semarang : Satya Wacana.

Yoeti, Oka. A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.

Yono, Trisno, Dkk. 2001. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Arkola Indonesia.

Zulkarnain, Iskandar. 2003. Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumenep.

Anonim. 2000. Kepariwisataan Kabupaten Sumenep Ditinjau Dari Segi Kelembagaan. Sumenep:Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumenep.



Artikel Majalah:
Mustofa, Arya. Sumenep, Kaya Potensi Religi. Info Sumenep Edisi 1. terbit 01-07 November 2007.


Lampiran 1
MATRIK PENELITIAN
TOPIK
JUDUL PENELITIAN
PERMASALAHAN
JENIS DAN SIFAT PENELITIAN
SUMBER DATA
METODE PENELITIAN
1
2
3
4
5
6
SEJARAH
KEBUDAYAN
Asta Tenggi Sebagai Objek Wisata Religi Di Kabupaten Sumenep
1.Keunikan Apa Yang Terdapat Di Dalam Asta Tenggi Di Desa Kebunagung Kecamatan Kota Sumenep?
2.Bagaimana Pandangan Atau Perspsi Masyarakat Terhadap Asta Tenggi?
3.Bagaimanakah usaha masyarakat dan pemerintah dalam melestarikan Asta Tenggi sebagai objek wisata ziarah di Kabupaten Sumenep?
a. Jenis Penelitian :
    - Penelitian
      Sejarah
b. Sifat Penelitian :
     - Studi Lapangan
1. Dokumen
2. Informan :
· Juru Kunci     Asta Tinggi
· Keluarga Raja-Raja Sumenep
· Pemuka Agama setempat
· Peziarah  Perangkat desa

Metode Penelitian Sejarah :
1.   Heuristik
2.   Kritik
3.   Interpretasi
4.   Historiografi

Pendekatan :
Antropologi Budaya


Lampiran 2

PEDOMAN WAWANCARA DAN OBSERVASI
N0
Data yang diraih
Sumber Data
Tehnik Pengambilan Data
1.
Gambaran umum Desa Kebunagung
a.      keadaan geografis
b.      Penduduk
c.      Pendidikan
d.     Kehidupan Sosial Budaya, dan
e.      Kehidupan Religi
Kantor BPS (Badan Pusat Statistik),  Kantor Kecamatan Kebunagung, Kantor Desa, Tokoh adat
Observasi, Wawancara dan Dokumenter
2.
Pandangan atau persepsi masyarakat terhadap Asta Tengi
Juru kunci Asta Tinggi, keluarga besar asta Tinggi, Tokoh adapt, masyarakat umum dan peziarah



Wawancara dan Dokumenter
3.
Usaha Masyarakat dan Pemerintah Dalam Melestarikan Asta Tenggi sebagai wisata ziarah



Dinas Pariwisata dan Budaya, Tokoh adat , masyarakat umum
Wawancara

















1 komentar: